Kesultanan Siak Sri Inderapura adalah sebuah Kerajaan Melayu Islam yang pernah berdiri di Kabupaten Siak, Provinsi Riau, Indonesia. Kesultanan ini didirikan di Buantan oleh Raja Kecil dari Pagaruyung bergelar Sultan Abdul Jalil pada tahun 1723, setelah sebelumnya terlibat dalam perebutan tahta Johor. Dalam perkembangannya, Kesultanan Siak muncul sebagai sebuah kerajaan bahari yang kuat dan menjadi kekuatan yang diperhitungkan di pesisir timur Sumatra dan Semenanjung Malaya di tengah tekanan imperialisme Eropa. Jangkauan terjauh pengaruh kerajaan ini sampai ke Sambas di Kalimantan Barat, sekaligus mengendalikan jalur pelayaran antara Sumatra dan Kalimantan.
Pasang surut kerajaan ini tidak
lepas dari persaingan dalam memperebutkan penguasaan jalur perdagangan di Selat
Malaka. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Sultan Siak terakhir, Sultan
Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya bergabung dengan Republik Indonesia.
Kata Siak Sri Inderapura, secara
harfiah dapat bermakna pusat kota raja yang taat beragama, dalam bahasa
Sanskerta, sri berarti "bercahaya" dan indera atau indra dapat
bermakna raja. Sedangkan pura dapat bermaksud dengan "kota" atau
"kerajaan". Siak dalam anggapan masyarakat Melayu sangat bertali erat
dengan agama Islam, Orang Siak ialah orang-orang yang ahli agama Islam, kalau
seseorang hidupnya tekun beragama dapat dikatakan sebagai Orang Siak.
Nama Siak, dapat merujuk kepada
sebuah klan di kawasan antara Pakistan dan India, Sihag atau Asiagh yang
bermaksud pedang. Masyarakat ini dikaitkan dengan bangsa Asii, masyarakat
nomaden yang disebut oleh masyarakat Romawi, dan diidentifikasikan sebagai
Sakai oleh Strabo seorang penulis geografi dari Yunani. Berkaitan dengan ini
pada sehiliran Sungai Siak sampai hari ini masih dijumpai masyarakat terasing
yang dinamakan sebagai Orang Sakai.
Setelah itu perkembangan agama Islam
di Siak menjadikan kawasan ini sebagai salah satu pusat penyebaran dakwah
Islam, hal ini tidak lepas dari penggunaan nama Siak secara luas di kawasan
Melayu. Jika dikaitkan dengan pepatah Minangkabau yang terkenal: Adat menurun,
syara’ mendaki dapat bermakna masuknya Islam ke dataran tinggi pedalaman
Minangkabau dari Siak sehingga orang-orang yang ahli dalam agama Islam, sejak
dahulu sampai sekarang, masih tetap disebut dengan Orang Siak.[8] Sementara di
Semenanjung Malaya, penyebutan Siak masih digunakan sebagai nama jabatan yang
berkaitan dengan urusan agama Islam.
Walau telah menerapkan hukum Islam
pada masyarakatnya, namun sedikit pengaruh Minangkabau dengan identitas
matrilinealnyamasih mewarnai tradisi masyarakat Siak. Dalam pembagian warisan,
masyarakat Siak mengikut kepada hukum waris sebagaimana berlaku dalam Islam.
Namun dalam hal tertentu, mereka menyepakati secara adat bahwa untuk warisan dalam
bentuk rumah hanya diserahkan kepada anak perempuan saja.
Membandingkan dengan catatan Tomé
Pires yang ditulis antara tahun 1513-1515,
Siak merupakan kawasan yang berada
antara Arcat dan Indragiri yang disebutnya sebagai kawasan pelabuhan raja
Minangkabau, kemudian menjadi vasal Malaka sebelum ditaklukan oleh Portugal.
Sejak jatuhnya Malaka ke tangan VOC, Kesultanan Johor telah mengklaim Siak
sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya. Hal ini berlangsung hingga
kedatangan Raja Kecil yang kemudian mendirikan Kesultanan Siak.
Dalam Syair Perang Siak, Raja Kecil
putra Pagaruyung, didaulat menjadi penguasa Siak atas mufakat masyarakat di
Bengkalis. Hal ini bertujuan untuk melepaskan Siak dari pengaruh Kesultanan
Johor.[5] Sementara dalam Hikayat Siak, Raja Kecil disebut juga dengan sang
pengelana pewaris Sultan Johor yang kalah dalam perebutan kekuasaan.
Berdasarkan korespondensi Sultan
Indermasyah Yang Dipertuan Pagaruyung dengan Gubernur Jenderal Belanda di
Melaka waktu itu, menyebutkan bahwa Sultan Abdul Jalil merupakan saudaranya
yang diutus untuk urusan dagang dengan pihak VOC. Kemudian Sultan Abdul Jalil
dalam suratnya tersendiri yang ditujukan kepada pihak Belanda, menyebut dirinya
sebagai Raja Kecil dari Pagaruyung, akan menuntut balas atas kematian Sultan
Johor.
Sebelumnya dari catatan Belanda,
dikatakan bahwa pada tahun 1674 telah datang utusan dari Johor meminta bantuan
raja Minangkabau untuk berperang melawan raja Jambi. Dalam salah satu versi
Sulalatus Salatin, juga menceritakan tentang bagaimana hebatnya serangan Jambi
ke Johor (1673), yang mengakibatkan hancurnya pusat pemerintahan Johor, yang
sebelumnya juga telah dihancurkan oleh Portugal dan Aceh. Kemudian berdasarkan
surat dari raja Jambi, Sultan Ingalaga kepada VOC pada tahun 1694, menyebutkan
bahwa Sultan Abdul Jalil hadir menjadi saksi perdamaian dari perselisihan
mereka.
Pada tahun 1718, Sultan Abdul Jalil
berhasil menguasai Kesultanan Johor sekaligus mengukuhkan dirinya sebagai
Sultan Johor dengan gelar Yang Dipertuan Besar Johor. Namun pada tahun 1722,
terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Raja Sulaiman anak Bendahara Johor,
yang juga menuntut hak atas tahta Johor. Atas bantuan pasukan bayaran dari
Bugis, Raja Sulaiman kemudian berhasil mengkudeta tahta Johor, dan mengukuhkan
dirinya menjadi penguasa Johor di Semenanjung Malaysia. Sementara Sultan Abdul
Jalil, pindah ke Bintan dan pada tahun 1723 membangun pusat pemerintahan baru
di sehiliran Sungai Siak dengan nama Siak Sri Inderapura. Sementara pusat
pemerintahan Johor yang sebelumnya berada sekitar muara Sungai Johor
ditinggalkan begitu saja, dan menjadi status quo dari masing-masing penguasa
yang bertikai tersebut. Sedangkan klaim Raja Kecil sebagai pewaris sah tahta
Johor, diakui oleh komunitas Orang Laut. Orang Laut merupakan kelompok
masyarakat yang bermukim pada kawasan Kepulauan Riau yang membentang dari timur
Sumatra sampai ke Laut Tiongkok Selatan, dan loyalitas ini terus bertahan
sampai kepada beberapa keturunan Raja Kecil berikutnya.
Dengan klaim sebagai pewaris Malaka,
pada tahun 1724-1726 Sultan Abdul Jalil melakukan perluasan wilayah, dimulai
dengan memasukkan Rokan ke dalam wilayah Kesultanan Siak dan kemudian membangun
pertahanan armada laut di Bintan. Namun pada tahun 1728, atas perintah Raja
Sulaiman, Yang Dipertuan Muda bersama pasukan Bugisnya, Raja Kecil diusir
keluar dari Kepulauan Riau. Raja Sulaiman kemudian menjadikan Bintan sebagai
pusat pemerintahannya. Atas keberhasilannya itu, Yang Dipertuan Muda diberi
kedudukan di Pulau Penyengat.
Sementara Raja Kecil terpaksa
melepas hegemoninya di Kepulauan Riau dan mulai membangun kekuatan baru di
kawasan sepanjang pesisir timur Sumatra. Antara tahun 1740-1745, Raja Kecil
kembali bangkit dan menaklukan beberapa kawasan di Semenanjung Malaya.] Karena
mendapat ancaman dari Siak, dan pada saat yang bersamaan orang-orang Bugis juga
meminta balas atas jasa mereka, maka Raja Sulaiman meminta bantuan kepada
Belanda di Malaka. Dalam perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1746 itu,
Johor menjanjikan akan memberikan Bengkalis kepada Belanda. Perjanjian itu
kemudian direspon oleh VOC dengan mendirikan gudang pada kawasan tersebut.
Sepeninggal Raja Kecil pada tahun
1746, klaim atas Johor memudar. Dan pengantinya Sultan Mahmud berfokus kepada
penguatan kedudukannya di pesisir timur Sumatra dan daerah vassal di Kedah dan
kawasan pantai timur Semenanjung Malaya. Pada tahun 1761, Sultan Siak membuat
perjanjian ekslusif dengan pihak Belanda, dalam urusan dagang dan hak atas
kedaulatan wilayahnya, serta bantuan dalam bidang persenjataan. Setelah Raja
Mahmud wafat, muncul dualisme kepemimpinan di kerajaan ini. Raja Muhammad Ali
yang lebih disukai Belanda kemudian menjadi Sultan Siak. Sementara sepupunya
Raja Ismail yang tidak disukai Belanda, muncul sebagai Raja Laut, menguasai
perairan timur Sumatra sampai ke Laut Tiongkok Selatan, dan membangun kekuatan
di gugusan Pulau Tujuh.
Sekitar tahun 1767, Raja Ismail
telah menjadi duplikasi dari Raja Kecil. Didukung oleh Orang Laut, ia terus
menunjukan dominasinya di kawasan perairan timur Sumatra, dengan mulai
mengontrol perdagangan timah di Pulau Bangka, kemudian menaklukan Mempawah di
Kalimantan Barat. Sebelumnya Raja Ismail juga turut membantu Terengganu
menaklukan Kelantan, hubungan ini kemudian diperkuat oleh adanya ikatan
perkawinan antara Raja Ismail dengan saudara perempuan Sultan Terengganu.
Pengaruh Raja Ismail di kawasan Melayu sangat signifikan, mulai dari
Terengganu, Jambi, dan Palembang. Laporan Belanda menyebutkan, Palembang telah
membayar 3.000 ringgit kepada Raja Ismail agar jalur pelayarannya aman dari
gangguan. Sementara Hikayat Siak menceritakan tentang kemeriahan sambutan yang
diterima oleh Raja Ismail sewaktu kedatangannya ke Palembang.
Pada abad ke-18, Kesultanan Siak
telah menjadi kekuatan yang dominan di pesisir timur Sumatra. Tahun 1780,
Kesultanan Siak menaklukkan daerah Langkat, dan menjadikan wilayah tersebut
dalam pengawasannya, termasuk wilayah Deli dan Serdang.
Di bawah ikatan perjanjian kerja
sama dengan VOC, pada tahun 1784 Kesultanan Siak membantu VOC menyerang dan menundukkan
Selangor.[32] Sebelumnya mereka telah bekerja sama memadamkan pemberontakan
Raja Haji Fisabilillah di Pulau Penyengat.
Kesultanan Siak Sri Inderapura
mengambil keuntungan atas pengawasan perdagangan melalui Selat Melaka, serta
kemampuan mengendalikan para perompak di kawasan tersebut. Kemajuan
perekonomian Siak terlihat dari catatan Belanda yang menyebutkan pada tahun
1783 ada sekitar 171 kapal dagang dari Siak menuju Malaka. Siak menjadi kawasan
segitiga perdagangan antara Belanda di Malaka dan Inggris di Pulau Pinang.[34]
Namun disisi lain, kejayaan Siak ini memberi kecemburuan pada keturunan Yang
Dipertuan Muda terutama setelah hilangnya kekuasaan mereka pada kawasan
Kepulauan Riau. Sikap ketidaksukaan dan permusuhan terhadap Sultan Siak, terlihat
dalam Tuhfat al-Nafis,
di mana dalam deskripsi ceritanya
mereka menggambarkan Sultan Siak sebagai "orang yang rakus akan kekayaan
dunia".
Peranan Sungai Siak sebagai bagian
kawasan inti dari kerajaan ini, berpengaruh besar terhadap kemajuan
perekonomian Siak Sri Inderapura. Sungai Siak merupakan kawasan pengumpulan
berbagai produk perdagangan, mulai dari kapur barus, benzoar, timah, dan emas.
Sementara pada saat bersamaan masyarakat Siak juga telah menjadi eksportir kayu
yang utama di Selat Malaka, serta salah satu kawasan industri kayu untuk
pembuatan kapal maupun bangunan. Dengan cadangan kayu yang berlimpah, pada
tahun 1775 Belanda mengizinkan kapal-kapal Siak mendapat akses langsung kepada
sumber beras dan garam di Pulau Jawa, tanpa harus membayar kompensasi kepada
VOC. Namun tentu dengan syarat Belanda juga diberikan akses langsung kepada
sumber kayu di Siak, yang mereka sebut sebagai kawasan hutan hujan yang tidak
berujung.
Dominasi Kesultanan Siak terhadap
wilayah pesisir pantai timur Sumatra dan Semenanjung Malaya cukup signifikan.
Mereka mampu menggantikan pengaruh Johor sebelumnya atas penguasaan jalur
perdagangan. Selain itu Kesultanan Siak juga muncul sebagai pemegang kunci ke
dataran tinggi Minangkabau, melalui tiga sungai utama yaitu Siak, Kampar, dan
Kuantan, yang mana sebelumnya telah menjadi kunci bagi kejayaan Malaka. Namun
demikian kemajuan perekonomian Siak memudar seiring dengan munculnya gejolak di
pedalaman Minangkabau yang dikenal dengan Perang Padri.
Ekspansi kolonialisasi Belanda ke kawasan
timur Pulau Sumatra tidak mampu dihadang oleh Kesultanan Siak, dimulai dengan
lepasnya Kesultanan Deli, Kesultanan Asahan, Kesultanan Langkat, dan kemudian
muncul Inderagiri sebagai kawasan mandiri. Begitu juga di Johor, di mana
seorang sultan dari keturunan Tumenggung Johor kembali didudukkan, dan berada
dalam perlindungan Inggris di Singapura.[38][39] Sementara Belanda memulihkan
kedudukan Yang Dipertuan Muda di Pulau Penyengat, dan kemudian mendirikan
Kesultanan Lingga di Pulau Lingga. Selain itu Belanda juga mempersempit wilayah
kedaulatan Siak, dengan mendirikan Residentie Riouw yang merupakan bagian dari
pemerintahan Hindia Belanda yang berkedudukan di Tanjung Pinang.
Penguasaan Inggris atas Selat
Melaka, mendorong Sultan Siak pada tahun 1840 untuk menerima tawaran perjanjian
baru mengganti perjanjian yang telah mereka buat sebelumnya pada tahun 1819.
Perjanjian ini menjadikan wilayah Kesultanan Siak semakin kecil dan terjepit
antara wilayah kerajaan kecil lainnya yang mendapat perlindungan dari Inggris.
Demikian juga pihak Belanda menjadikan kawasan Siak sebagai salah satu bagian
dari pemerintahan Hindia Belanda, setelah memaksa Sultan Siak menandatangani
perjanjian pada 1 Februari 1858. Dari perjanjian tersebut Siak Sri Inderapura
kehilangan kedaulatannya, kemudian dalam setiap pengangkatan raja, Siak mesti
mendapat persetujuan dari Belanda. Selanjutnya dalam pengawasan wilayah,
Belanda mendirikan pos militer di Bengkalis serta melarang Sultan Siak membuat
perjanjian dengan pihak asing tanpa persetujuan pemerintahan Hindia Belanda.
Perubahan peta politik atas
penguasaan jalur Selat Malaka, kemudian adanya pertikaian internal Siak dan
persaingan dengan Inggris dan Belanda, melemahkan pengaruh hegemoni Kesultanan
Siak atas wilayah-wilayah yang pernah dikuasainya.[46] Tarik ulur kepentingan
kekuatan asing terlihat pada Perjanjian Sumatra antara pihak Inggris dan
Belanda, menjadikan Siak berada pada posisi yang dilematis, berada dalam posisi
tawar yang lemah. Kemudian berdasarkan perjanjian pada 26 Juli 1873, pemerintah
Hindia Belanda memaksa Sultan Siak, untuk menyerahkan wilayah Bengkalis kepada
Residen Riau. Namun di tengah tekanan tersebut, Kesultanan Siak masih tetap
bertahan sampai kemerdekaan Indonesia, walau pada masa pendudukan tentara Jepang
sebagian besar kekuatan militer Kesultanan Siak sudah tidak berarti lagi.
Sultan Syarif Kasim II merupakan
Sultan Siak terakhir yang tidak memiliki putra. Seiring dengan kemerdekaan
Indonesia, Sultan Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya bergabung dengan negara
Republik Indonesia.
Sultan Syarif Kasim II bergelar Yang
Dipertuan Besar Syarif Kasim Abdul Jalil Saifuddin (Sultan Asyaidis Syarif
Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin)
Tidak sebatas tahta, Sultan Syarif
Kasim II telah pula menyerahkan istana dan segala isinya, juga hartanya kepada
Pemerintah Republik Indonesia. Bahkan tidak tanggung-tanggung, Sultan Syarif
Kasim II telah pula menyerahkan atau menyumbangkan dana sebesar 13 juta Gulden
kepada pemerintah. Penyerahan semua itu tentu dimaksudkan agar bisa menjadi
modal awal bagi Pemerintah Republik Indonesia yang baru saja lahir.
Sultan Hamengku Buwono IX misalnya,
telah menyediakan berbagai fasilitas untuk kelancaran pemerintahan ketika
Yogyakarta menjadi ibukota Republik Indonesia. Tak hanya itu, Sultan Hamengku
Buwono IX juga telah menyumbang dana untuk Republik sebesar 6 juta Gulden.
Sedang rakyat Aceh telah
bergotongroyong mengumpulkan dana untuk membeli pesawat terbang yang
disumbangkan kepada Republik. Pesawat sumbangan rakyat Aceh itu diberi nama
“Seulawah”. Peran Keraton Yogyakarta dan rakyat Aceh diketahui secara meluas,
dan selalu saja disebut atau diperbincangkan setiap kali memperbincangkan
tentang awal kebangkitan negara