Istana Daik |
Kesultanan Lingga adalah salah satu
kerajaan Islam yang didirikan di Pulau Lingga. Kesultanan ini dibentuk pada
tahun 1824 dari pecahan wilayah Kesultanan Johor Riau atas perjanjian yang
disetujui oleh Britania Raya dan Hindia Belanda. Pendirinya adalah Sultan Abdul
Rahman Muazzam Syah. Wilayah Kesultanan Lingga mencakup provinsi Kepulauan
Riau.
Pusat pemerintahan Kesultanan Lingga
awalnya berada di Tanjung Pinang, tetapi kemudian dipindahkan ke Pulau Lingga.
Kesultanan Lingga berakhir pada tanggal 3 Februari 1911 dan menjadi kekuasaan
Hindia Belanda. Kesultanan ini berperan dalam pengembangan Bahasa Melayu Riau
sebagai bahasa standar yang kemudian ditetapkan sebagai Bahasa Indonesia.
Sejarah Kesultanan Lingga
Pendirian
Pada awalnya, Kesultanan Lingga
adalah bagian dari Kesultanan Melaka yang kemudian diteruskan oleh Kesultanan
Johor Riau. Pada tahun 1811, Sultan Mahmud Syah III yang berkuasa di Kesultanan
Johor Riau wafat sehingga terjadi perselisihan dalam penentuan pewaris. Akhirnya
pihak Britania Raya dan Hindia Belanda turut campur dalam menentukan pewaris
Kesultanan Johor Riau. Pihak Britania Raya mendukung putra tertua dari Sultan
Mahmud Syah III yaitu Tengku Hussain. Sebaliknya, Hindia Belanda mendukung adik
tiri dari Tengku Hussain, yaitu Abdul Rahman. Penyelesaian pewaris Kesultanan
ditentukan dalam Traktat London yang diadakan pada tahun 1824.
Keputusannya adalah membagi
Kesultanan Johor Riau menjadi dua Kesultanan, yaitu Kesultanan Johor dan
Kesultanan Lingga. Kesultanan Johor berada dalam pengaruh Britania Raya,
sedangkan Kesultanan Lingga berada dalam pengaruh Hindia Belanda. Abdul Rahman
kemudian ditetapkan sebagai sultan pertama dari Kesultanan Lingga dengan gelar
Muazzam Syah.
Pemerintahan
Pemerintahan di Kesultanan Lingga
dibagi antara sultan, yang dipertuan muda, dan ulama. Sultan memerintah dalam
bidang militer, politik, ekonomi, dan perdagangan. Pusat pemerintahannya berada
di Pulau Lingga. Sultan yang dipilih berasal dari para bangsawan Melayu. Yang
dipertuan muda bertugas sebagai penasehat sultan. Pusat pemerintahannya berada
di Pulau Penyengat. Jabatan yang dipertuan muda diberikan kepada bangsawan
Bugis. Peran ulama di Kesultanan Lingga adalah sebagai penasehat Yang Dipertuan
Muda dalam bidang rihlah ilmiah.
Pemilihan Pulau Lingga sebagai pusat
pemerintahan dikarenakan lokasinya yang strategis dalam bidang pertahanan.
Pulau ini memiliki dataran yang luas di sekeliling Sungai Daik . Selain itu,
sungainya dapat dilayari hingga ke bagian hulu, sehingga pasukan Hindia Belanda
sulit menjangkaunya. Perairan sungai ini juga berubah-ubah sesuai dengan pasang
surut air, sehingga sangat sulit dijangkau oleh kapal pada waktu tertentu.
Politik
Politik dalam negeri Kesultanan
Lingga cukup stabil. Pembagian kekuasaan antara Suku Bugis dan Suku Melayu
dapat terkendali. Sebaliknya, Kesultanan Lingga berada di wilayah dengan
perpolitikan luar negeri yang rumit dan tidak stabil. Kerajaan-kerajaan yang
ada di sekitarnya sering melakukan persaingan antarkekuasaan. Selain itu, pejabat
pemerintahan dari Kesultanan Lingga juga sering berselisih. Kondisi politik
semakin rumit setelah kedatangan Portugis, Hindia Belanda, Britania Raya dan
Jepang. Wilayah-wilayah di Kepulauan Riau, Semenanjung Melayu, dan pesisir
timur Pulau Sumatera tidak dapat sepenuhnya dikendalikan.
Keagamaan
Kesultanan Lingga menjadi salah satu
pusat kegiatan pembelajaran Islam di kawasan Melayu. Para ulama berdatangan ke
Pulau Penyengat untuk mengajarkan ilmu keislaman. Bersamaan dengan ini, di
Kesultanan Lingga juga mulai banyak penganut paham tasawuf. Tarekat yang
berkembang pesat adalah tarekat Naqsyabandiyah. Pada masa Kesultanan Lingga,
paham fikih dan tasawuf yang paling berpengaruh adalah pemikiran Abu Hamid
Al-Ghazali. Pemikirannya diajarkan oleh Raja Ali Haji yang telah berguru kepada
para ulama di Madinah dan Mekkah.
Kebudayaan
Kesultanan Lingga telah
mengembangkan tradisi tulis menulis untuk kepentingan ilmu pengetahuan dalam
bidang sastra dan keagamaan. Naskah-naskah ditulis menggunakan Abjad Jawi.
Kesultanan Riau Lingga membuat kamus Bahasa Melayu dan menjadikannya sebagai
sebuah bahasa standar.
Pada tahun 1850, Kesultanan Lingga
membangun sebuah percetakan surat kabar dengan tulisan dengan Abjad Jawi dan
Abjad Latin. Jenis cetakannya adalah cetakan litograf. Selain itu, di
Kesultanan Lingga juga dibentuk perkumpulan para cendekiawan yang menulis
karya-karya ilmiah dan menerjemahkan buku-buku berbahasa asing, terutama buku
keagamaan yang menggunakan bahasa Arab.
Kesultanan Lingga juga mengembangkan
Bahasa Melayu, terutama bahasa lisan di kalangan istana. Bahasa Melayu ini
kemudian disebarkan untuk digunakan oleh masyarakat umum. Bahasa Melayu
kemudian disempurnakan menjadi bahasa baku di Pulau Penyengat. Pada masa
pemerintahan Sultan Mahmud Muzafar Syah, Kerajaan Lingga menetapkan Bahasa
Melayu sebagai bahasa resmi. Bahasa ini kemudian ditetapkan sebagai bahasa
persatuan pada Kongres Pemuda Indonesia yang diadakan pada tahun 1928 dengan
sebutan baru yaitu Bahasa Indonesia.