Kesultanan Asahan |
Kesultanan Asahan adalah sebuah
kesultanan yang berdiri pada tahun 1630 di wilayah yang sekarang menjadi Kota
Tanjung Balai, Kabupaten Asahan, Kabupaten Batubara, Kabupaten Labuhanbatu
Utara, Kabupaten Labuhanbatu, dan Kabupaten Labuhanbatu Selatan. Kesultanan ini
ditundukkan Belanda pada tahun 1865. Kesultanan Asahan melebur ke dalam negara
Republik Indonesia pada tahun 1946.
Sejarah Kerajaan Asahan dimulai dari
penobatan raja pertama yang berlangsung meriah di sekitar kampung Tanjung.
Peristiwa penabalan raja pertama kerajaan Asahan tersebut terjadi pada tanggal
27-12-1620, dan tanggal 27 Desember kemudian ditetapkan sebagai “Hari Jadi Kota
Tanjung Balai” dengan surat keputusan DPRD Kota Tanjung Balai Nomor :
4/DPRD/TB/1986 tanggal 25-11-1986.
Asal usul nama kota “Tanjung Balai”
menurut cerita rakyat yang ada di Tanjung Balai bermula dari sebuah kampung
yang ada di sekitar ujung tanjung di muara Sungai Silau dan aliran Sungai
Asahan.
Lama kelamaan balai yang dibangun
semakin ramai disinggahi karena tempatnya yang strategis sebagai bandar kecil
tempat melintas orang–orang yang ingin bepergian ke hulu Sungai Silau. Tampat
itu kemudian dinamai “Kampung Tanjung” dan orang lazim menyebutnya balai “di
tanjung”.
Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah
adalah anak dari Sultan Alaiddin Mahkota Alam Johan Berdaulat (Sultan Alaiddin
Riayat Syah Al Qahhar), Sultan Aceh ke-13 yang memerintah Aceh tahun 1537 –
1568, sementara ibunya adalah Siti Ungu Selendang Bulan, anak dari Raja Pinang
Awan yang bergelar “Marhum Mangkat di Jambu”. Pinang Awan terletak di Kabupaten
Labuhan Batu. Sebelumnya, Aceh telah menaklukkan negeri-negeri kecil di pesisir
Sumatera Utara dan di dalam salah satu pertempuran inilah Raja Pinang Awan
terbunuh dan anaknya Siti Ungu dibawa ke Aceh dan menikah dengan Sultan
Alaiddin Riayat Syah Al Qahhar. Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah dimakamkan di
tangkahan Sitarak.
Sultan Alaiddin Mahkota Alam Johan
Berdaulat ( Sultan Alaiddin Riayat Syah I Al Qahhar ) yang memerintah Kerajaan
Aceh tahun 1537 - 1568 yang melakukan penyerangan ke negeri-negeri pantai timur
Sumatera.
Saat melakukan penyerangan ke
Labuhan Batu, datanglah permaisuri Batara Sinomba, Raja Pinang Awan (Sutan
Mangkuta Alam, Raja Air Merah) gelar Marhum Mangkat di Jambu meminta tolong
kepada Sultan Aceh, karena dia sering difitnah dan dianiaya oleh suaminya.
Mendengar pengaduan istri kedua
Batara Sinomba yang berasal dari Angkola ini, Sultan Alaiddin mengutus Raja
Muda Pidie untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Akhirnya Masalah tersebut
dapat diselesaikan dengan terbunuhnya Batara Sinomba.
Sebagai rasa terima kasihnya maka
Permaisuri tersebut menyerahkan Puterinya yang bernama Siti Ungu Selendang
Bulan ( Siti Unai ) untuk dinikahi oleh Sultan Aceh dan dibawa ke Kerajaan
Aceh. Setelah beberapa tahun maka kedua orang Abang Siti Ungu dengan ditemani
oleh Raja Batak "Karo- Karo" datang menemui Sultan Aceh meminta
adiknya untuk dibawa pulang. Sultan Aceh pun mengabulkan permintaan kedua orang
abang dari Siti Ungu tersebut dengan syarat Apabila kelak anak yang dilahirkan
oleh Siti Ungu adalah seorang Laki - laki maka ia harus dirajakan didaerah
Asahan.
Dan untuk mengawal rombongan Siti
Ungu kembali ke negerinya maka Sultan Aceh mengutus salah seorang pembesarnya
di Pasai yaitu Anak Sukmadiraja yang berasal dari Kampung Sungai Tarap
Minangkabau.
Setibanya di Asahan, Siti Ungu
melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Raja Abdul Jalil. Siti Ungu
kemudian menikah lagi dengan Raja Karo karo yang setelah masuk Islam dan diberi
gelar Raja Bolon dan memperolah seorang putera yang bernama Raja Abdul Karim
yang digelar dengan Bangsawan "Bahu Kanan".
Tak berapa lama kemudian Raja Bolon
menikah lagi dengan Puteri Raja Simargolang dan memperoleh dua orang putera
yaitu Abdul Samad dan Abdul Kahar yang bergelar Bangsawan "Bahu
Kiri". Setelah Raja Bolon meninggal terjadi perselisihan antara Sultan
Abdul Jalil dengan Raja Simargolang karena mengangkat kedua cucunya tersebut
menjadi raja di Kota Bayu dan Tanjung Pati.
Sultan Abdul Jalil terpaksa
mengundurkan diri ke Hulu Batubara dan meminta bantuan ayahnya Sultan Aceh.
Akhirnya dengan bantuan Sultan Aceh, Raja Simargolang dapat dikalahkan dan
dipaksa untuk membuat perjanjian damai dan pada saat itu pula Anak Sakmadiraja
dinobatkan menjadi Bendahara di Kerajaan Asahan.
Pada tahun 1630 Sri Paduka Tuanku
Abdul Jalil Rahmad Syah diangkat sebagai Raja Asahan I. Beliau menikah dengan
Encik Amina putri dari Bendahara Pemangku Raja Bahu bin Sukma Diraja dari
istrinya Ompa Liang.
Dari Pernikahan ini Abdul Jalil
mendapat
2 orang putra bernama Tengku Saidi
dan Sri Paduka Raja
Tak lama berselang Si PadukaTuanku
Abdul Jalil menikah lagi dengan Tengku Ampuan, putri dari Tengku Sulung gelar
Marhom mangkat di Simpang, Raja Panai dan Bilah.
Dari pernikahan ini lahirlah 3 orang
putri,
Raja Huma, Raja Marsah dan Raja
Busu. Masing-masing mereka tinggal di Bilah.
Sri Paduka Tuanku Abdul Jalil
mangkat di Tangkahan Sitarak dan dimakamkan di Pulo Raja, Asahan. Setelah
Sultan Abdul Jalil mangkat, maka bermufakatlah Bendahara beserta kerapatannya
dan mengangkat Sri Paduka Tuanku Saidi Syah sebagai Raja Asahan kedua.
Kemudian Raja Saidi Syah pindah ke
Simpang Toba. Beliau menikah dengan Puteri Bendahara yang bernama Halijah
(Jaliah).
Dari pernikahannya tersebut Raja
Saidi Syah dikaruniai seorang putera yang bernama Tuanku Muhammad Mahrum.
Si Paduka Tuanku Raja Saidi Syah
wafat di Simpang Toba dan dimakamkan disana dengan gelar Marhum Simpang Toba.
Untuk melanjutkan Kerajaan Asahan,
maka dinobatkanlah putra tunggal Raja Saidi ,
Sri Paduka Tuanku Muhammad Mahrum
Syah menjadi Raja Asahan ketiga.
Sri Paduka Tuanku Muhammad Mahrum
Syah menikah dengan Encik Samidah, putri dari Bendahara. Dari pernikahannya ini
Tuanku Muhammad Mahrum ini memiliki 3 orang putra dan seorang putri, yaitu :
Tuanku Abdul Jalil, Tuanku Muhammad Syah, Tuanku Kecik Besar dan Raja Amaran.
Pada tahun 1760 Tuanku Muhammad
Mahrum mangkat di Sungai Banitan, putra sulungnya
Sri Paduka Tuanku Abdul Jalil II
Rahmad Syah dinobatkan sebagai Raja Asahan keempat. Tuanku Abdul Jalil II
menikah dengan Encik Salama, putri dari Bendahara. Dari pernikahan ini Tuanku
Abdul Jalil II memiliki 3 orang putra, yaitu : Tuanku Deva, Tuanku Abdul Zalim
dan Tuanku Sutan Muda.
Tuanku Abdul Jalil II lalu
memindahkan pusat pemerintahan ke Kampung Baru ( Sungai Raja ) Beliau adalah
tipe orang yang pintar dan nekat tanpa mengenal takut. Menurut sejarah pada
tahun 1760 - 1765 Raja Alam ( Sultan Siak ) anak dari Raja Kecik dari
Kesultanan Siak Sri Inderapura minta bantuan kepada beliau untuk melawan
Belanda di Malaka. Ketika beliau menemani Sultan Siak ke Malaka dan menjadi
tamu kehormatan Gubernur Malaka beliau menyaksikan kota Malaka telah menjadi
daerah kekuasaan Belanda. Melihat hal ini beliau langsung mengambil tindakan,
membakar semangat rakyat Malaka untuk melawan Belanda dan memberitahukan kepada
Raja Alam, Sultan Siak untuk melawan VOC dari Kesultanan Siak dan Tuanku Abdul
Jalil II siap untuk memimpin pasukan dan berada di garis depan.
Dalam penyerangan ke Pulau Gantung
yang menjadi lambang kekuatan Belanda pada masa itu, Belanda dapat dikalahkan
dan dipukul mundur. Pulau Gantung pun kembali ke dalam kekuasaan Kesultanan
Siak. Atas kegigihan dan kegemilangannya membantu Kesultanan Siak menghalau
Belanda beliau dianugerahi gelar " Yang Dipertuan " oleh Sultan Siak.
Pada tahun 1765 - tidak seberapa
lama setelah beliau pulang ke Asahan, Tuanku Abdul Jalil II meninggal di Sungai
Raja Kampung Baru ( Kisaran ) dan dimakamkan disana dengan gelar Marhum Sungai
Raja.
Untuk meneruskan perjalanan dinasti
Asahan, maka dinobatkanlah Y.T.M. Sri Paduka Tuanku Deva Shah sebagai Sultan
Asahan kelima dan adiknya Raja Abdul Zalim diangkat sebagai Raja Muda Asahan.
Sri Paduka Tuanku Deva Syah
memerintah di Pasir Putih , yang masih masuk dalam wilayah Kisaran saat ini.
Tuanku Deva Syah mempunyai 5 orang
istri.
Istri pertamanya adalah putri
Bendahara,
Istri keduanya putri dari Raja
Rondahim,
Raja dari Simalungun.
Istri ketiganya gadis Tiong Hoa dari
Malaka. Dari pernikahan ketiganya inilah lahir dua putranya, Tuanku Ahmad Musa
dan Tuanku Muhammad Ali.
Istri keempatnya Encik Jahu (Gadis
Cina dari Malaka).
Dari pernikahan keempatnya ini
memperoleh
1 putra dan 3 putri, yaitu : Raja
Laut, Raja Sayang, Tengku dan Raja Biong Lentung.
Dan istrinya yang kelima Sultan Deva
Shah adalah Encik Sayyida.
Pada tahun 1805 Sultan Deva Syah
mangkat di Pasir Putih.
Beliau digelar Marhum Pasir Putih.
Kemudian dinobatkan putranya Y.T.M.
Sri Paduka Tuanku Sultan Ahmad Musa menjadi Sultan Asahan keenam.
Pada masa pemerintahan Sultan Ahmad
Musa ibukotanya dipindahkan ke Rantau Panjang
Pada tahun 1807 Sultan Ahmad Musa
menikah dengan Encik Fatima, putri dari Megat Gunung bin Bendahara.
Srbelum anaknya lahir Sultan Ahmad
Musa wafat dan diberi gelar Marhum Mangkat di Rantau Panjang.
Anak Sultan Ahmad Musa diberi nama Sri Paduka Tuanku al-Sultan Muda Muhammad Ishaq ibni al-Marhum Sultan Ahmad Musa Syah, yang kemudian diangkat sebagai Raja Muda Asahan dan Raja Kualuh dan Leidong.
Maka untuk meneruskan kepemimpinan
dari Kesultanan Asahan dinobatkanlah adik dari Sultan Ahmad Musa, Sri Paduka
Tuanku Sultan Muhammad Ali Syah sebagai Sultan Asahan ketujuh.
Sultan Muhammad Ali Syah menikah dua
kali. Pernikahan pertamanya dengan Tengku Ampuan, adik dari Tengku Tua, putri
dari Tengku Sutan. Dari pernikahan ini lahirlah Raja Husain Shah dan Tengku
Siti Asmah gelar Tengku Maha Suri Raja Deli.
Putrinya ini pada tahun 1852 menikah
dengan Sri Paduka Tuanku Sultan Panglima Usman al-Sani Perkasa Alam Shah ibni
al-Marhum Sultan Amaluddin Panglima Mangedar Alam Shah ,al-Marhum Masjid,
Sultan dari Kesultanan Deli.
Dari pernikahan kedua Sultan
Muhammad Ali dengan Puan Beberapa, lahirlah dua putra , yaitu Tengku Sulung dan
Tengku Alang Ja'afar dan dua putri: Raja Biyong dan Raja Tua Saiciwai.
Pada tahun 1813 Sultan Muhammad Ali
Syah mangkat di Si Rantau.
Dalam Kesultanan Asahan terjadi
perselisihan dan perebutan kekuasaan antara Tuanku Muhammad Ishaq anak dari
Tuanku Ahmad Musa, Sultan Asahan ketujuh dan Tuanku Husain Shah anak dari
Sultan Muhammad Ali, Sultan Asahan kedelapan.
Pada tahun 1829 akhirnya Raja Muhammad
Ishak dinobatkan menjadi Sultan Asahan yang kesembilan dengan gelar Sri Paduka
Tuanku al-Sultan Muda Muhammad Ishaq ibni al-Marhum Sultan Ahmad Musa Shah
Tuanku Raja Muhammad Ishak
sebelumnya menjadi Yang Dipertuan Besar Muda Asahan dan berkuasa mulai dari
Sungai Asahan hingga sampai ke Bandar Pulau, sekaligus diangkat sebagai Raja
Kualuh dan Leidong.
Pamannya Tengku Tua dan Tengku
Biyung Khecil mengangkat Sri Paduka Tuanku Sultan Muhammad Husain Rahmad Syah I
diangkat menjadi Sultan Asahan yang berkuasa di Sei Silau. Untuk membantu
menjalankan pemerintahannya di Negeri Kualuh Sultan Muhammad Husain Syah
mengangkat beberapa orang Datuk yang diambil dari Asahan.
Sultan Muhammad Husain Rahmad Syah I lahir tahun 1806. Semasa hidupnya ia menikah dua kali. Istri pertamanya adalah Tengku Sulung, putri dari pamannya Tengku Tua dan istrinya Putri Raja Pinai. Dari pernikahan pertama ini lahirlah 3 putra dan 4 orang putri yaitu : Tengku Ahmad Syah, Tengku Amir gelar Tengku Pangeran Besar Muda, Tengku Muhammad Adil (Tengku Babul), dan Tengku Tengah gelar Tengku Ampuan, Tengku Putri, Tengku Kechil Ajis, Tengku Sunit.
Sedangkan dari istri keduanya Tuan
Telaha atau Tuan Trus, putri seorang keponakan dari Raja Batak Buntu Panai
melahirkan Raja Muhammad Syarif gelar Tengku Setia Maharaja, Raja Muhammad
Bakir dan seorang putri bernama Tengku Sulung Toba.
10 Februari 1859 - Sultan Muhammad
Husain Rahmad Syah I mangkat di Si Rantau, dan dikebumikan di Kampung Mesjid.
Meneruskan kepemimpinan Asahan diangkatlah putra mahkota Sri Paduka Tuanku
Sultan Ahmad Shah sebagai Sultan Asahan ke-9.
18 September 1865 - Karena Sultan
Ahmad menolak mentah-mentah Belanda untuk tunduk dan patuh pada Kesultanan
Siak, malah Sultan Ahmad memasang bendera-bendera Inggris ditepi pantai asahan,
Maka Belanda menyerang Asahan. Dan Asahan takluk pada waktu itu.
27 September 1865 - Setelah Asahan
takluk. Belanda mengasingkan Sultan Ahmad Shah dan adiknya Tengku Muahammad
Adil ke Riau.
Sedangkan adiknya Tengku Amir gelar
Tengku Pangeran Besar Muda diasingkan ke Ambon.
Elisa Netscher sebagai Asisten
Residen Riau pada waktu itu mengangkat Sri Paduka Tuanku al-Wathiq Billah
al-Sultan Muda Ni'matu'llah Shah Ibni al-Marhum al-Sultan Muda Muhammad Abdul
Haq, Yang Dipertuan Muda di-Asahan dan Raja Kualuh dan Leidong memimpin Asahan.
Perluasan Kekuasan Belanda
Di bawah pemerintahan Sultan
Muhammad Husain Syah (1813 – 1854) dan anaknya, Sultan Ahmad Syah (1854 - 1888
), Kesultanan Asahan menjadi kesultanan yang disegani di daerah antara Serdang
dan Siak dan punya pengaruh besar di Batu Bara, Bilah dan Panai. Di masa inilah
terjadi pertembungan antara Belanda, Inggris dan Aceh di Asahan karena Belanda
dan Inggris masing-masing bersaing untuk meluaskan kekuasaan penjajahan dan
perdagangan mereka di pesisir timur Sumtera sementara Aceh pun berkeras untuk
mempertahankan kedaulatannya di Asahan.
Tuntutan Belanda terhadap
negeri-negeri di Pesisir Timur termasuk Asahan adalah berdasarkan Perjanjian
Siak yang ditandatangani oleh Belanda dengan Kesultanan Siak pada 1 Februari
1858. Berdasarkan perjanjian itu, Siak diserahkan kepada Belanda termasuk
daerah taklukannya seperti Asahan, Batu Bara, Serdang, Deli, Langkat dan
Tamiang. Berdasar sejarah, hak Siak atas kerajaan-kerajaan ini adalah
berdasarkan penyerangannya pada tahun 1791. Tetapi kenyataannya adalah
kekuasaan Siak hanya sebatas nama saja dan tidak diakui oleh banyak pihak. Di
masa yang sama, negeri-negeri ini mempunyai hubungan perdagangan yang erat
dengan Pelabuhan Inggris di Pulau Pinang di mana nilai ekspor lada, rotan dan
barang lain dari Sumatera bernilai 150.000 Poundsterling pertahun.
Pada saat Elisa Netscher dilantik
sebagai Residen Belanda di Riau pada tahun 1861, Beliau menghantar seorang
pembesar Minangkabau, Raja Burhanuddin, ke negeri-negeri ini untuk menilai
keadaan. Beliau melaporkan kepada Netscher bahwa tidak ada kerajaan yang mau
mengakui kedaulatan Siak. Deli, Serdang dan Langkat masih di bawah pengaruh
Aceh tetapi bersedia menerima perlindungan Belanda. Hanya Asahan dan negeri di
bawah pengaruhnya: Batu Bara, Panai dan Bilah, yang tidak mau berhubungan
dengan Siak dan Belanda.
Pada Agustus 1862, Netscher dan
Pembantu Residen Belanda di Siak, Arnold, diiringi oleh pembesar-pembesar Siak
mengunjungi negeri-negeri yang terlibat. Walaupun mengalami beberapa kesulitan,
Netscher berhasil menundukkan Panai, Bilah, Kota Pinang, Serdang, Deli dan
Langkat di bawah kekuasaan Belanda. Hanya Asahan saja yang tidak bersedia
tunduk, bahkan di pantai Asahan dikibarkan bendera Inggris.
Tindakan Belanda ini mendapat
tantangan yang keras dari pedagang-pedagang Inggris di Pulau Pinang karena ia
menggugat hubungan perdagangan di antara Pulau Pinang dengan negeri-negeri
tersebut. Sebelumnya Sultan Asahan dan Raja Muda Asahan telah memberitahu
Gubernur negeri-negeri Selat, yaitu Kolonel Cavenagh, perihal niat Belanda.
Major Man, Resident Councillor di Pulau Pinang, kemudian dikirim ke Deli,
Serdang dan Langkat untuk mengawasi keadaan
Sultan Ibrahim dari Kesultanan Aceh
ikut menentang tindakan Belanda ini. Dari kacamata Aceh, seluruh pesisir timur
Sumatera sampai ke Panai dan Bilah adalah daerah takluknya. Justru itu,
angkatan perang Aceh dikirim ke Tamiang, Langkat, Deli, Serdang, Batu Bara dan
Asahan. Di Asahan dan Serdang angkatan perang Aceh disambut dengan baik. Sebagai
balasan, pada tahun 1865, Belanda mengiri angkatan perangnya untuk menyerang
Asahan, Serdang, Tamiang dan Batu Bara. Saat pasukan Belanda tiba di Asahan,
Sultan Ahmadsyah dan adik-adiknya, Tengku Muhammad Adil dan Tengku Pengeran
Besar Muda, mundur ke daerah pedalaman.
Netscher kemudian mengangkat Tengku
Naamal Allah, Yang Dipertuan Negeri Kualuh, menjadi pemangku Sultan Asahan dan
melantik seorang Contoleur Belanda sebagai penasehat. Sultan Ahmadsyah kemudian
menyerah namun kaum Batak di pedalaman meneruskan perjuangan menentang Belanda.
Pada tahun itu juga, Sultan Ahmadsyah diasingkan Belanda ke Riau bersama
adiknya, Tengku Muhammad Adil. Tengku Pengeran Besar Muda di asingkan ke Ambon.
Pada tahun 1868, Tengku Naamal Allah
dilantik menjadi Pemangku Sultan karena kaum Batak tidak mau menokong
pemerintahannya dan menuntut kepulangan Sultan Ahmad Syah.
Pak Netak, Raja Bandar Pulau di Hulu
Asahan, mati semasa menentang Belanda pada tahun 1870. Perjuangan secara
gerilya diteruskan, terutama pada tahun 1879 dan 1883. Dari tahun 1868 sampai
dengan 1886 Asahan diletakkan Netscher di bawah pentadbiran empat orang
pembesar Melayu. Akhirnya, pada tahun 1885, Belanda mengizinkan Sultan
Ahmadsyah pulang ke Asahan dengan syarat Beliau tidak boleh campur tangan mengenai
politik. Beliau menandatangani perjanjian politik dengan Belanda (Akte Van
Verband) pada 25 Maret 1886 di Bengkalis dan kembali memerintah Asahan pada 25
Maret 1886 sampai kemangkatannya pada 27 Juni 1888.
Kekuasaan pemerintahan Belanda di
Asahan/Tanjung Balai dipimpin oleh seorang Kontroler, yang diperkuat dengan
Gouverments Besluit tanggal 30 September 1867, Nomor 2 tentang pembentukan
Afdeling Asahan yang berkedudukan di Tanjung Balai dan pembagian wilayah
pemerintahan dibagi menjadi 3 yaitu:
Onder Afdeling Batu Bara
Onder Afdeling Asahan
Onder Afdeling Labuhan Batu.
Kerajaan Sultan Asahan dan
pemerintahan Datuk-Datuk di wilayah Batu Bara tetap diakui oleh Belanda, namun
tidak berkuasa penuh sebagaimana sebelumnya. Wilayah pemerintahan Kesultanan dibagi
atas Distrik dan Onder Distrik yaitu:
Distrik Tanjung Balai dan Onder
Distrik Sungai Kepayang.
Distrik Kisaran.
Distrik Bandar Pulau dan Onder
Distrik Bandar Pasir Mandoge.
Sedangkan wilayah pemerintahan
Datuk-datuk di Batu Bara dibagi menjadi wilayah Self Bestuur yaitu:
Self Bestuur Indrapura
Self Bestuur Lima Puluh
Self Bestuur Pesisir
Self Bestuur Suku Dua
( Bogak dan Lima Laras ).
Pada tanggal 30 November 1867 Sultan
Muda Ni'matullah diturunkan oleh Belanda. Kemudian Asahan dipimpin oleh 4
pembesar Melayu, dan pada masa ini sangat sering terjadi perlawanan terhadap
Belanda di Asahan.
Pada bulan Maret 1886 Sultan Ahmad
Syah dipaksa menandatangani surat perjanjian takluk (akte van bevestiging) di
Bengkalis.
AKTE VAN BEVESTIGING
Karena telah diputuskan oleh
Pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1865 atas kekosongan kekuasaan Tengku
Ahmad Syah selaku Sultan Asahan, dengan ini tanggal 25 Maret 1886, Saya Abraham
Adrianus Hoos, selaku Residen Sumatra Pantai Timur, yang dibuat dan yang
ditulis bersumpah untuk melakukan perbuatan ini;
Dengan demikian dikatakan bahwa
Tengku Ahmad Syah dengan saya, di bawah persetujuan lebih lanjut dari Yang
Mulia Gubernur Jenderal, dalam nama dan karena atas nama Pemerintah Hindia
Belanda, dalam martabat nya selaku Raja Assahan diakui dan dikonfirmasi atas
nama Sultan Ahmad Syah dan dia akan berkomitmen kepada Pemerintah dan
mematuhinya, maka dengan ini ditetapkan sebagai berikut:
Raja dari Assahan dalam semua
masalah administrasi dan keadilan, dibantu oleh sebuah dewan yang terdiri empat
anggota, sebagai perwakilan yang ditunjuk oleh pemerintah Sumatra Timur.
Raja Asahan oleh Pemerintah
diberikan pendapatan sebesar f 18.000 (delapan belas ribu gulden)/ tahun,
selain jumlah f 10 000 (sepuluh ribu gulden) sekaligus, untuk biaya sebagai
berikut;
Setiap anggota dewan pemerintah
diberikan pendapatan f 1200 (seribu dua ratus gulden)/tahun.
Penghulu bandar, Pasir Mandagai dan
Bandar Poeloe masing mendapatkan f 480 (empat ratus delapan puluh
gulden)/tahun;
Penghulu Pakan Tanjung Balaei
mendapatkan modal f 300 (Tiga Ratus gulden)/ tahun;
Datoek bandar Sjakar sepanjang
hidupnya mendapat hibah sebesar f 600 (enam ratus gulden)/tahun;
Dalam mencari dana tersebut sebagai
awal kompensasi pada tahun 1876 oleh Pemerintah ditarik dari penghasilan yang
didapat dari ekspor dan sumber daya yang disewakan Assahan termasuk monopoli
terhadap garam.
Raja dari Assahan tetap dalam
kenikmatan tidak diambil alih oleh pendapatan Pemerintah, yang ia seperti
sesuai dengan lembaga-lembaga negara tua dapat mengklaim, dilengkapi dengan
pengetahuan dan persetujuan dari wakil Pemerintah.
Sejauh rakyatnya dapat diadili atas
pengadilan pemerintah, hak Raja Assahan secara langsung atau melalui proxy
untuk duduk di pengadilan tersebut, untuk dapat mengetahui
permasalahan-permasalahan yang akan datang.
Mengenai Tanah konsesi akan
dikeluarkan perjanjian khusus dengan Raja.
Sebagai bukti, akta ini disajikan.
Dengan demikian dilakukan di
BengKalis pada tanggal 25 Maret 1886.
Residen dari Pantai Timur Sumatera,
(Signed)
Hoos.
Pada tanggal 25 Maret 1886 Sultan
Ahmad Syah dan Adiknya dikembalikan ke Asahan. Sultan Ahmad kembali memerintah
Asahan.
Dalam hidupnya tercatat, Sultan
Ahmad Syah pernah menikah 2 kali, pertama dengan Tengku Sulung, putri sulung
dari Tuanku Muhammad Ishaq al-Marhum Ibni Tuanku Kata Musa Shah, Raja Kualuh
Leidong dan dan Yang Dipertuan Muda di-Asahan. Dan istri kedua Encik Daeng,
seorang wanita Bugis dari Riau. Tapi dari kedua pernikahan ini Sultan Ahmad
tidak mendapat keturunan.
Pada tanggal 27 Juni 1888 Sultan
Ahmad Syah wafat., Sebelum wafat Sultan Ahmad Syah membuat surat wasiat. Karena
dia tidak mempunyai keturunan maka pemerintahan Kesultanan Asahan, dia meminta
supaya putra tertua dari adiknya Tengku Muhammad Adil dan istrinya Encik Sri
Bulan yaitu Tengku Ngah Tanjung yang menjadi Sultan. Akhirnya Sultan Ahmad Syah
pun wafat di Istana Kota Raja Indra Sakti Tanjung Balai dan dimakamkan di
Mesjid Agung Sultan Ahmad Syah
Pada tanggal 8 Oktober 1888 atas
persetujuan Belanda, akhirnya Tengku Ngah Tanjung dinobatkan sebagai Sultan Asahan
ke-10 dengan nama Sri Paduka Tuanku Sultan Muhammad Husain Rahmad Syah II.
Di pihak Inggris, tantangan terhadap
perluasan kekuasaan Belanda di Pesisir Timur semakin lama semakin berkurang
karena munculnya kekuatan-kekuatan besar yang baru seperti Perancis, Amerika
Serikat, Jerman dan Itali yang masing-masing tertarik pula dengan
Asia Tenggara. Inggris memandang
lebih baik bekerjasama dengan Belanda.
Lagipula Belanda tengah melonggarkan
dasar perdagangannya di Sumatera dan ini mendatangkan keuntungan kepada
pedagang-
pedagang Inggris di Pulau Pinang dan
Singapura. Pada 2 Nopember 1871, Inggris menandatangani Perjanjian Sumatera
dengan Belanda di mana antara lain Inggris membatalkan semua perlawanan
terhadap Belanda di daerah di Sumatera dan Inggris mempunyai hak berdagang yang
sama dengan Belanda di Sumatera.
Pada 6 Oktober 1888, Tengku Ngah
Tanjung dinobatkan menjadi Sultan Asahan ke-10 dengan gelar Sultan Muhammad
Husain Rahmat Syah II.
Pelantikan ini dibuat berdasarkan
wasiat pamannya, Sultan Ahmad Syah yang mangkat tanpa meninggalkan keturunan.
Residen Belanda, G. Scherer juga
memberi persetujuan terhadap pelantikan ini. Di bawah pemerintahan Sultan
Muhammad Husain II, langkah-langkah diambil untuk memajukan Asahan dengan
memberikan ijin Sarikat Eropa membuka perusahaan di Asahan, untuk memberi
peluang pekerjaan bagi penduduknya. Pada tahun 1908, Sultan Muhammad Husain II
bersama dengan adik-adiknya, Tengku Alang Yahya dan Tengku Musa, berkunjung ke
Belanda untuk menerima gelar “Ridder der Orde van den Nederlanschen Leeuw” dari
Ratu Wilhelmina.
Sultan Muhammad Hussein II melantik
Tengku Alang Yahya sebagai Bendahara dan Tengku Amir, putra sulungnya sebagai
Tengku Besar Asahan atau calon Sultan. Tetapi Tengku Amir mangkat tahun 1913
dan diangkatlah Tengku Sya'ibun sebagai gantinya pada 7 Juli 1915.
Sultan Muhammad Hussein II mangkat
pada usia 53 tahun. Karena Tengku Sya'ibun masih kanak-kanak, Tengku Alang
Yahya (Bendahara) dilantik menjadi pemangku sultan dengan gelar Tengku Regent
Negeri Asahan. Semasa ia menjadi Tengku Regent ini, Beliau menerima dua
anugerah, yaitu “Officier der Orde van Oranje Nassau” dan “Ridder der Orde van
den Nederlanschen Leeuw”.
Pada 15 Juni 1933, Tengku Sya'ibun
Yunus dinobatkan menjadi Sultan Asahan ke-11 dengan gelar Sultan Sya'ibun Abdul
Jalil Rahmat Syah di Istana Kota Raja Indra Sakti, Tanjung Balai. Isteri
Beliau, Tengku Nurul Asikin binti Tengku Al Haji Rahmad Bedagai, dinobatkan
sebagai Tengku Suri atau Tengku Permaisuri Kesultanan Asahan pada tanggal 17
Juni 1933.
Kesultanan Asahan sangat maju dan
sangat dikenal oleh para pedagang dari luar negeri terutama pedagang-pedagang
dari negeri Belanda. Banyak maskapai Eropa membuka Ondernemingen di Asahan.
Dimasa ini pula Belanda banyak membangun beberapa gedung pemerintahan dan
membangun akses dari daerah lain menuju kota Tanjung Balai dengan membangun
jalan, rel kereta api serta memperluas pelabuhan.
Sultan Muhammad Husein Syah II
pernah melawat ke negeri Belanda bersama Tengku Alang Yahya dan Tengku Musa.
Pada tahun 1908 Beliau menerima Anugerah Knight Order of The Netherlands Lion
dari Ratu Wilhelmina. Semasa pemerintahannya Rakyat Asahan bertambah makmur dan
beberapa syarikat Eropa menjalankan perniagaan di Negeri asahan pada masa itu.
Pada tanggal 11 Februari 1908
Sultan Muhammad Husein Syah II
menandatangani Politik Kontrak dengan Pemerintah Hinda Belanda yang pada waktu
itu diwakili oleh Jacob Ballot selaku Resident Sumatra Timur. Pemerintah
Belanda juga mengangkat Laurentius Knappert sebagai Asisten Residen Afdeling
Asahan.
Semasa hidupnya Sultan Muhammad
Husain II menikah 7 kali.
Yang pertama dengan Raja Tengah Uteh
putri sulung Raja Tengah Muhammad Abu Bakar dari istrinya, seorang wanita asal
Arab. Pernikahan kedua dengan Siti Zainab, seorang wanita keturunan Arab.
Pernikahan ketiga dengan Encik
Hitam, seorang wanita dari Penang.
Pernikahan keempat dengan Encik Unga [Ongah], seorang wanita dari Sungai Kepayang, diperkirakan Hajjah Ainon Binti Awang dari Singapura, yang mungkin ibu dari Tengku Jawahir atau Jailani bin Ali, orang Jawa, Pernikahan kelima dengan Tengku Zahara, putri dari YM Tengku Muhammad Yusuf bin Tengku Abdul Jalil dari Johor/Singapura. Pernikahan keenam dengan Tengku Madariah Dan pernikahan ketujuh dengan Encik Itam. Dari 7 pernikahan ini Sultan Muhammad Husain II memiliki 8 putra dan 14 putri, yaitu:
1) Tengku Besar Amir
Tengku Amir lahir tahun 1885 di
Tanjung
balai.
Pada tanggal 5 Mei 1899 dinobatkan
sebagai Tengku Besar.
Tengku Amir adalah anak dari Raja
Tengah
Uteh.
2) Tengku Ibrahim, dari Siti Zainab
3) Tengku Usman, lahir 1900 dari
Encik Hitam
4) Tengku Muhammad Ishaq, dari Encik
Hitam
meninggal pada saat Revolusi Sosial,
4 Maret 1946
5) Tengku Haidar Mahazir, dari Encik
Unga
6) Tengku Sya’ibun Yunus, dari
Tengku Zahara
7) Tengku Muhammad Ali, dari Tengku
Zahara
9) Tengku Darjat
10) Tengku Aisya, dari Encik Ongah
11) Tengku Khair ul-Bariah, dari
Encik Itam
12) Tengku Fatimah Badriyah
13) Tengku Mariam
14) Tengku Jamilah
15) Tengku Munah
16) Tengku Salmah
17) Tengku Haminah
18) Tengku Chantik
19) Tengku Kalsum
20) Tengku Hasnah
21) Tengku Arfah atau Ariah, dari Tengku Zahara
22) Tengku Jawahir dari Tengku
Zahara
Pada tahun 1910 harga karet dunia
melambung tinggi.
Belanda dan Amerika pun sepakat untuk
membuka perkebunan karetnya di Asahan. Atas persetujuan Sultan Muhammad Husain
II memberikan konsesi tanah daerah Kisaran, maka kedua negara ini membuka
perusahaan yang bernama Hollandsch-Amerikaansche Plantage Maatschappij.
Pada tanggal 8 Februari 1913 Tengku
Besar Amir wafat, untuk menggantikan posisinya Sultan Muhammad Husain II pun
menobatkan Tengku Sya’ibun Yunus sebagai Tengku Besar.
Selama hayatnya Tengku Besar Amir
pernah membantu Westenak di Sumatra Barat yang waktu itu masih berpangkat
Asisten Residen. Tengku Amir dimakamkan di Mesjid Raya Sultan Ahmad di Tanjung
Balai.
Pada tanggal 7 Juli 1915 Sultan
Muhammad Husain II mangkat di Istana Kota Raja Indra Sakti, Tanjung Balai.
Beliaupun dimakamkan di Mesjid Raya Sultan Ahmad Shah.
Putra keenam dari istri kelimanya,Tengku Zahara yaitu Tengku Sya’ibun Yunus dinobatkan menjadi Sultan Asahan ke-11 dengan nama Sri Paduka Tuanku Sultan Sya’ibun Abdul Jalil Rahmad Syah III.
Tetapi karena masih muda, untuk
sementara pemerintahan dipegang oleh saudara ayahnya Tengku Alang Yahya sebagai
Regent of Negeri Asahan.
1917 - Pertumbuhan dan perkembangan
Kota Tanjung Balai sejak didirikan sebagai Gementee berdasarkan Besluit G.G.
tanggal 27 Juni 1917 dengan Stbl. 1917 No. 284, sebagai akibat dibukanya
perkebunan-perkebunan di derah Sumatera Timur termasuk daerah Asahan seperti
H.A.P.M., SIPEF, London Sumatera (Lonsum) dan lain-lain, maka Kota Tanjung
Balai sebagai kota pelabuhan dan pintu masuk ke daerah Asahan menjadi penting
artinya bagi perkembangan perekonomian Belanda.
Dengan telah berfungsinya jembatan
Kisaran dan dibangunnya jalan kereta api Medan – Tanjung Balai, maka
hasil-hasil dari perkebunan dapat lebih lancar disalurkan atau di ekspor
melalui pelabuhan Tanjung Balai.
Untuk memperlancar kegiatan
perkebunan, maskapai-maskapai Belanda membuka kantor dagangnya di kota Tanjung
Balai antara lain: kantor K.P.M., Borsumeij dan lain-lain, maka pada abad XX
mulailah penduduk bangsa Eropa tinggal menetap di kota Tanjung Balai. Assisten
Resident van Asahan berkedudukan di Tanjung Balai dan karena jabatannya
bertindak sebagai Walikota dan Ketua Dewan (Voorzitter van den Gemeen-teraad).
Sebagai kota pelabuhan dan tempat kedudukan Assisten Resident, Tanjung Balai
juga merupakan tempat kedudukan Sultan Kerajaan Asahan. Pada waktu Gementee
Tanjung Balai didirikan atas Besluit G.G. tanggal 27 Juni 1917 No. 284, luas
wilayah Gementee Tanjung Balai adalah 106 Ha.
Pada bulan September 1925 Gubernur
Jenderal Hinda Belanda Dick Fock berkunjung ke Istana Kota Raja Indra Sakti,
Tanjung Balai.
17 Juni 1933 - Sri Paduka Tuanku
Sultan Sha’ibun Abdul Jalil Rahmad Syah III menikah dengan Tengku Nurul Asikin
binti al-Marhum Tengku Rahmad. Putri dari Tengku Rahmad bin Tengku Ismail
al-Haj, Pangeran Bendahara Putra, dari Bedagai, dan istrinya, YM Tengku Tisah
Adil [Mulki] binti Tengku Muhammad ', putri kelima YAM Tengku Muhammad 'Adil
[Babul] Ibni al-Marhum Sultan Muhammad Husain Rahmad Syah. Permaisuri lahir di
Bedagai, 1896, dan pada hari itu dinobatkan sebagai Tengku Permaisuri di Istana
Kota Raja Indra Sakti, Tanjung Balai, 17 Juni 1933.
Pada tanggal 15 Juli 1933 ( 9 Safar
1353 H )
Tengku Sya'ibun Yunus resmi
dinobatkan menjadi Sultan Asahan ke-11 di Istana Kota Raja Indra Sakti Tanjung
Balai pada hari Kamis 15 Juli 1933 pukul 11.00 WIB.
Sultan Syaibun belajar di H.I.S di
Tanjung Balai dan kemudian melanjutkan sekolahnya ke MULO di Batavia bersama
dengan dua orang saudaranya yaitu T. Khaidir dan T. Ishaq.
Pada tahun 1933 Sultan Sya'ibun juga
merenovasi Mesjid Raya Sultan Ahmad Shah di Tanjung Balai.
Pada tahun 1933 , beberapa bulan
setelah menikah dengan Permaisuri Tengku Nurul, Sultan Sya'ibun pun menikah
kedua kalinya dengan Encik Mariam dan pada bulan September 1933, menikah lagi
untuk ketiga kalinya dengan Encik Sa'adiah binti Muhammad Ariffin.
Dari ketiga isterinya Sultan
Sya'ibun dikaruniai 4 Orang putera dan 5 orang puteri yaitu :
1) Tengku Sulung Baihak Syah
2) Tengku Nurhayati
3) Tengku Dahnian
4) Tengku Alma
5) Tengku Mirna
6) Tengku Nur Zehan
7/ Tengku Yasmin
9) Tengku Dr. Kamal Abraham
13 Maret 1942 - Pemerintahan Belanda
berhasil ditundukkan Jepang, sejak saat itu Pemerintahan Fasisme Jepang disusun
menggantikan Pemerintahan Belanda. Pemerintahan Fasisme Jepang dipimpin oleh
Letnan T. Jamada dengan struktur pemerintahan Belanda yaitu Asahan Bunsyu dan
bawahannya Fuku Bunsyu Batu bara. Selain itu, wilayah yang lebih kecil di bagi
menjadi Distrik yaitu Distrik Tanjung Balai, Kisaran, Bandar Pulau, Pulau
Rakyat dan Sei Kepayang.
14 Agustus 1945 - Pemerintahan Fasisme
Jepang berakhir dan 17 Agustus 1945 Kemerdekaan Negara Republik Indonesia
diproklamirkan. Sesuai dengan perkembangan Ketatanegaraan Republik Indonesia,
maka berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1945, Komite Nasional Indonesia Wilayah
Asahan di bentuk pada bulan September 1945. Pada saat itu pemerintahan yang di
pegang oleh Jepang sudah tidak ada lagi, tapi pemerintahan Kesultanan dan
pemerintahan Fuku Bunsyu di Batu Bara masih tetap ada.
3 Maret 1946 - Sejak pagi ribuan
massa telah berkumpul. Mereka mendengar bahwa Belanda akan mendarat di Tanjung
Balai. Namun kerumunan itu berubah haluan mengepung istana Sultan Asahan.
Awalnya gerakan massa ini dihadang TRI namun karena jumlahnya sedikit, massa
berhasil menyerbu istana sultan.
4 Maret 1946 - Besoknya, semua bangsawan
Melayu pria di Sumatera Timur ditangkap dan dibunuh. Hanya dalam beberapa hari,
140 orang kedapatan mati, termasuk para penghulu, pegawai didikan Belanda, dan
sebagian besar kelas tengku. Di Tanjung Balai dan di Tanjung Pasir hampir semua
kelas bangsawan mati terbunuh. Sultan Sha'ibun tidak dibunuh, beliau
dipenjarakan oleh Revolusioner Komunis.
Pergerakan anti kaum bangsawan kian merebak dan pemimpin republik tidak berkuasa menahannya. Dalam pada itu, beberapa pemimpin politik yang opportunis, dua diantaranya adalah Karim Marah Sutan dan Luat Siregar dari Partai Komunis Indonesia menggunakan pergerakan anti kaum bangsawan ini sebagai landasan untuk memperkuat landasan kekuatan politik mereka.
Untuk mencapai tujuan ini, mereka
membangkitkan sentimen rakyat sampai akhirnya tercetuslah Revolusi Sosial di
mana Raja-raja dan keluarganya dibunuh beramai-ramai dengan kejam dan hartanya
dirampas. Selain dari para bangsawan, para perusuh juga membunuh kalangan
profesional yang berpendidikan barat, terutama mereka yang hidup mengkuti gaya
hidup barat. Oleh karena itu, beberapa orang pro nasionalis dan keluarganya
juga turut dibunuh
Pada tanggal15 Maret 1946 - Berlaku
struktur pemerintahan Republik Indonesia di Asahan dan wilayah Asahan di pimpin
oleh Abdullah Eteng sebagai kepala wilayah dan Sori Harahap sebagai wakil
kepala wilayah, sedangkan wilayah Asahan dibagi atas 5 (lima) Kewedanan, yaitu:
Kewedanan Tanjung Balai
Kewedanan Kisaran
Kewedanan Batubara Utara
Kewedanan Batubara Selatan
Kewedanan Bandar Pulau.
Kemudian setiap tahun tanggal 15
Maret diperingati sebagai Hari Jadi Kabupaten Asahan.
Juni 1946 - Pada Konferensi Pamong
Praja se-Keresidenan Sumatera Timur diadakan penyempurnaan struktur
pemerintahan, yaitu:
Sebutan Wilayah Asahan diganti
dengan Kabupaten Asahan
Sebutan Kepala Wilayah diganti
dengan sebutan Bupati
Sebutan Wakil Kepala Wilayah diganti
dengan sebutan Patih
Kabupaten Asahan dibagi menjadi 15
wilayah Kecamatan terdiri dari ;
Kewedanan Tanjung Balai dibagi atas
4 Kecamatan, yaitu :
Kecamatan Tanjung Balai
Kecamatan Air Joman
Kecamatan Simpang Empat
Kecamatan Sei Kepayang
Kewedanan Kisaran dibagi atas 3
Kecamatan, yaitu :
Kecamatan Kisaran
Kecamatan Air Batu
Kecamatan Buntu Pane
Kewedanan Batubara Utara terdiri
atas 2 Kecamatan, yaitu :
Kecamatan Medang Deras
Kecamatan Air Putih
Kewedanan Batu Bara Selatan terdiri
atas 3 Kecamatan, yaitu:
Kecamatan Talawi
Kecamatan Tanjung Tiram
Kecamatan Lima Puluh
Kewedanan Bandar Pulau terdiri atas
3 Kecamatan, yaitu :
Kecamatan Bandar Pulau
Kecamatan Pulau Rakyat
Kecamatan Bandar Pasir Mandoge.
Sultan Sya'ibun dibebaskan oleh
tentara Inggris pada Juli 1947.
Pada tanggal 1 November 1947 Sultan
Sya'ibun diberi pangkat Kapten Pertama untuk Pasukan Pengawal Negara Sumatera
Timur dan Distrik Tanjung Balai.
Pada tanggal 6 September 1948 Sultan
Sya'ibun menghadiri Investiture Khidmat Ratu Juliana dari Belanda di Gereja
Baru, Amsterdam. Beliau mendapatkan mendali Knight Order of The Netherlands
Lion dan Officer of the Order of Orange-Nassau.
Sultan Sya'ibun pada tahun 1948
diberi jabatan bagian keamanan dalan Kabinet Pemerintahan Negara Sumatera
Timur.
*) Bupati Asahan
1) Abdullah Eteng
1946 - 1954
Abdullah Eteng sebagai kepala wilayah atau Bupati Asahan dan Sori Harahap sebagai wakilnya.
2) Rakutta Sembiring
1-2-1954 s/d 29-2-1960
Rakutta Sembiring adalah mantan Bupati Karo.
Dengan keluarnya Undang-Undang
Darurat No. 9 tahun 1956, Lembaran Negara 1956 No. 60 nama Hamintee Tanjung
Balai diganti dengan Kota Kecil Tanjung Balai dan Jabatan Walikota terpisah
dari Bupati Asahan berdasarkan surat Menteri Dalam Negeri tanggal 18 September
1956 No. U.P. 15 /2/3. Selanjutnya dengan UU No. 1 Tahun 1957 nama Kota Kecil
Tanjung Balai diganti menjadi Kotapraja Tanjung Balai.
Berdasarkan keputusan DPRD-GR Tk. II
Asahan No. 3/DPR-GR/1963 Tanggal 16 Pebruari 1963 diusulkan ibukota Kabupaten
Asahan dipindahkan dari Kotamadya Tanjung Balai ke kota Kisaran dengan alasan
supaya Kotamadya Tanjung Balai lebih dapat mengembangkan diri dan juga letak
Kota Kisaran lebih strategis untuk wilayah Asahan. Hal ini baru teralisasi pada
tanggal 20 Mei 1968 yang diperkuat dengan peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun
1980, Lembaran Negara Tahun 1980 Nomor 28, Tambahan Negara Nomor 3166.
Pada tahun 1982 Kota Kisaran
ditetapkan menjadi Kota Administratif berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 1982, Lembaran Negara Nomor 26 Tahun 1982. Dengan adanya Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 821.26-432 tanggal 27 Januari 1986 dibentuk Wilayah
Kerja Pembantu Bupati Asahan dengan 3 wilayah Pembantu Asahan, yaitu :
Pembantu Bupati Wilayah-I
berkedudukan di Lima Puluh meliputi :
Kecamatan Medang Deras
Kecamatan Air Putih
Kecamatan Lima Puluh
Kecamatan Talawi
Kecamatan Tanjung Tiram
Pembantu Bupati Wilayah-II
berkedudukan di Air Joman meliputi :
Kecamatan Air Joman
Kecamatqan Meranti
Kecamatan Tanjung Balai
Kecamatan Simpang Empat
Kecamatan Sei Kepayang
Pembantu Bupati Wilayah-III
berkedudukan di Buntu Pane meliputi:
Kecamatan Buntu Pane
Kecamatan Bandar Pasir Mandoge
Kecamatan Air Batu
Kecamatan Pulau Rakyat
Kecamatan Bandar Pulau
6 April 1980 - Sultan Sya'ibun
mangkat dan dimakamkan di pemakaman Mesjid Raya Tanjung Balai. Dan sebagai ahli
waris Kesultanan Asahan timbul intrik tentang siapa pengganti dinasti
Kesultanan Asahan yang mampu mengemban tugas sebagai kepala adat. Dalam suatu
kebimbangan dan keraguan apakah akan diangkat kembali Kesultanan Asahan akibat
dari ekses Revolusi Sosial tahun 1946 yang masih menyimpan duka dan nestapa
dalam ingatan para keluarga besar kerajaan. Ditengah kebimbangan tersebut T.
Tatah dan Encik Saidah mengatakan bahwa Sultan Sya'ibun pernah bercerita
tentang salah seorang anaknya yang dapat diandalkan untuk meneruskan Dinasti
Kesultanan Asahan yaitu Tengku Kamal Abraham.
Mendengar kabar tersebut para
pembesar kerajaan mengadakan musyawarah. Dari hasil musyawarah tersebut pada
tanggal 17 Mei 1980 diangkatlah Dr. Tengku Kamal Abraham Abdul Jalil Rahmatsyah
sebagai Sultan Asahan ke-12
Setelah upacara pengangkatan
selesai, malam harinya dilaksanakan pemberian gelar kepada keturunan kesultanan
sebagai pelengkap struktur organisasi kerajaan. Gelar terebut diberikan kepada
:
Almarhum Tengku Alauddin Nazar
mendapatkan gelar Tengku Bendahara.
Tengku Rumsyah mendapatkan gelar
Duta Amerta.
Tengku Bustamam, Tengku Yose Rizal,
Almarhum Tengku Azis dan Tengku Yusuf Idris mendapatkan gelar Pangeran Asahan.
Tengku Amirsyah dan Tengku Thamrin
mendapatkan gelar Datuk Bintara.
Pemberian gelar tersebut dilakukan
di Tanjung Balai dan langsung diberikan oleh Sultan Asahan ke-12 Sultan Kamal
Abraham Abdul Jalil Rahmatsyah.
Sultan Kamal Abraham Abdul Jalil
Rahmatsyah menikah dengan seorang gadis berdarah Aceh yaitu Dr. Hj. Eva Mutia.
Sampai saat ini beliau telah
dikaruniai 3 orang anak yaitu :
1) Tengku Muhammad Iqbal Alvinanda
( Lahir 17 Maret 1994 )
2) Tengku Muhammad Arief Fadillah
( Lahir 29 Mei 1995 )
3) Tengku Shafira
( Lahir 14 Desember 2002 )
Atas persetujuan Bupati Asahan
melalui maklumat tanggal 11 Januari 1958 No. 260 daerah-daerah yang dikeluarkan
(menurut Stbl. 1917 No. 641) dikembalikan pada batas semula, sehingga menjadi
seluas 200 Ha.
Dengan keluarnya Undang-Undang
Darurat No. 9 tahun 1956, Lembaran Negara 1956 No. 60 nama Hamintee Tanjung
Balai diganti dengan Kota Kecil Tanjung Balai dan Jabatan Walikota terpisah
dari Bupati Asahan berdasarkan surat Menteri Dalam Negeri tanggal 18 September
1956 No. U.P. 15 /2/3.
Selanjutnya dengan UU No. 1 Tahun
1957 nama Kota Kecil Tanjung Balai diganti menjadi Kotapraja Tanjung Balai.
Walikota yang pernah memimpin Kota
Tanjung Balai sejak Tahun 1956 :
1. Dt. Edwarsyah Syamsura. 1956 –
1958
2. Wan Wasmayuddin 1958 – 1960
3. Zainal Abidin 1960 – 1965
4. Syaiful Alamsyah 1965 – 1967
5. Anwar Idris 1967 – 1970
6. Patuan Naga Nasution 1970 – 1975
7. H Bahrum Damanik 1975 – 1980
8. Drs H Ibrahim Gani 1980 – 1985
9. Ir H Marsyal Hutagalung 1985 –
1990
10. Bachta Nizar Lubis, SH 1990 –
1995
11. Drs H Abdul Muis Dalimunthe 1995
– 2000
12. dr Sutrisno Hadi, SpOG 2000 -
2010
13. Drs. Thamrin Munthe, M.Hum. 2011
- 2016
Wakil Walikota
1. Mulkan Sinaga 2000 - 2005
2. Drs. Thamrin Munthe, M.Hum. 2005
- 2010
3. Rolel Harahap 2011 - 2016
Dilantik 7 Februari 2011
Dari tahun ke tahun Kota Tanjung
Balai terus berkembang, para pendatang dari berbagai tempat dengan tujuan untuk
berdagang, kemudian menetap di Tanjung Balai, sehingga kota ini telah menjadi
kota yang berpenduduk padat.
Sebelum Kota Tanjung Balai diperluas
dari hanya 199 Ha. (2 Km² ) menjadi 60 Km², kota ini pernah menjadi kota
terpadat di Asia Tenggara dengan jumlah penduduk lebih kurang 40.000 orang
dengan kepadatan penduduk lebih kurang 20.000 jiwa per Km².
Akhirnya Kota Tanjung Balai
diperluas menjadi ± 60 Km² dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. 20 Tahun 1987, tentang perubahan batas wilayah Kota Tanjung Balai
dan Kabupaten Asahan, sehingga Kota Tanjung Balai terdiri dari 5 Kecamatan.
Berdasarkan SK. Gubsu No.
146.1/3372/SK/1993 tanggal 28 Oktober 1993 desa dan kelurahan telah dimekarkan
menjadi bertambah 5 desa dan 7 kelurahan persiapan sehingga menjadi 19 desa dan
11 kelurahan di Kota Tanjung Balai.