Kerajaan Pagaruyung

0

 

Istano Basa Pagaruyung 

Kerajaan Pagaruyung adalah kerajaan yang pernah berdiri di Sumatra, wilayahnya terdapat di dalam provinsi Sumatra Barat sekarang. Nama kerajaan ini dirujuk dari nama pohon Nibung atau Ruyung, selain itu juga dapat dirujuk dari inskripsi cap mohor Sultan Tangkal Alam Bagagar dari Pagaruyung, yaitu pada tulisan beraksara Jawi dalam lingkaran bagian dalam yang berbunyi sebagai berikut: Sulthān Tunggal Alam Bagagar ibnu Sulthān Khalīfatullāh yang mempunyai tahta kerajaan dalam negeri Pagaruyung Dārul Qarār Johan Berdaulat Zhillullāh fīl 'Ālam.

Sayangnya pada cap mohor tersebut tidak tertulis angka tahun masa pemerintahannya. Kerajaan ini runtuh pada masa Perang Padri, setelah ditandatanganinya perjanjian antara Kaum Adat dengan pihak Belanda yang menjadikan kawasan Kerajaan Pagaruyung berada dalam pengawasan Belanda.

Sebelumnya kerajaan ini tergabung dalam Malayapura, sebuah kerajaan yang pada Prasasti Amoghapasa disebutkan dipimpin oleh Adityawarman, yang mengukuhkan dirinya sebagai penguasa Bhumi Malayu di Suwarnabhumi. Termasuk pula di dalam Malayapura adalah kerajaan Dharmasraya dan beberapa kerajaan atau daerah taklukan Adityawarman lainnya.

Sejarah Berdirinya Pagaruyung

Munculnya nama Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Melayu tidak dapat diketahui dengan pasti, dari Tambo yang diterima oleh masyarakat Minangkabau tidak ada yang memberikan penanggalan dari setiap peristiwa-peristiwa yang diceritakan, bahkan jika menganggap Adityawarman sebagai pendiri dari kerajaan ini.

Tambo sendiri tidak jelas menyebutkannya. Namun dari beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman, menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri tersebut, tepatnya menjadi Tuhan Surawasa, sebagaimana penafsiran dari Prasasti Batusangkar.

Dari manuskrip yang dipahat kembali oleh Adityawarman pada bagian belakang Arca Amoghapasa disebutkan pada tahun 1347.

Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja di Malayapura, Adityawarman merupakan putra dari Adwayawarman seperti yang terpahat pada Prasasti Kuburajo, dan anak dari Dara Jingga putri dari kerajaan Dharmasraya seperti yang disebut dalam Pararaton.

Ia sebelumnya bersama-sama Mahapatih Gajah Mada berperang menaklukkan Bali dan Palembang.

Pada masa pemerintahannya kemungkinan Adityawarman memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah pedalaman Minangkabau.

Dari prasasti Suruaso yang beraksara Melayu menyebutkan Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu Akarendrawarman yang menjadi raja sebelumnya.

Dapat dipastikan sesuai dengan adat Minangkabau, pewarisan dari mamak (paman) kepada kamanakan (kemenakan) telah terjadi pada masa tersebut. Sementara pada sisi lain dari saluran irigasi tersebut terdapat juga sebuah prasasti yang beraksara Nagari atau Tamil, sehingga dapat menunjukan adanya sekelompok masyarakat dari selatan India dalam jumlah yang signifikan pada kawasan tersebut.

Adityawarman pada awalnya dikirim untuk menundukkan daerah-daerah penting di Sumatra, dan bertahta sebagai raja bawahan (uparaja) dari Majapahit.

Namun dari prasasti-prasasti yang ditinggalkan oleh raja ini belum ada satu pun yang menyebut sesuatu hal yang berkaitan dengan Bhumi Jawa

Dari berita Tiongkok diketahui Adityawarman pernah mengirimkan utusan ke Tiongkok sebanyak

6 kali selama rentang waktu 1371 sampai 1377.

Setelah meninggalnya Adityawarman, kemungkinan Majapahit mengirimkan kembali ekspedisi untuk menaklukan kerajaan ini pada tahun 1409.

Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran dahsyat dengan tentara Majapahit di daerah Padang Sibusuk.

Konon daerah tersebut dinamakan demikian karena banyaknya mayat yang bergelimpangan di sana. Menurut legenda tersebut tentara Jawa berhasil dikalahkan.

Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah Minangkabau sudah memiliki sistem politik semacam konfederasi, yang merupakan lembaga musyawarah dari berbagai Nagari dan Luhak.

Dilihat dari kontinuitas sejarah, kerajaan Pagaruyung merupakan semacam perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat setempat (Suku Minang).

Perkembangan agama Islam ada setelah akhir abad ke-14 sedikit banyaknya memberi pengaruh terutama yang berkaitan dengan sistem patrialineal dan memberikan fenomena yang relatif baru pada masyarakat di pedalaman Minangkabau.

Pada awal abad ke-16, Suma Oriental yang ditulis antara tahun 1513 dan 1515, mencatat dari ketiga raja Minangkabau.

Hanya satu yang telah menjadi muslim sejak 15 tahun sebelumnya.

Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui para musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka.

Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17,

Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi Kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam tambo adat Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif.

Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan dengan ajaran agama Islam mulai dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam adat diganti dengan aturan agama Islam.

Pepatah adat Minangkabau yang terkenal: "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah", yang artinya adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan pada Al-Qur'an.

Namun dalam beberapa hal masih ada beberapa sistem dan cara-cara adat masih dipertahankan dan inilah yang mendorong pecahnya perang saudara yang dikenal dengan nama Perang Padri yang pada awalnya antara Kaum Padri (ulama) dengan Kaum Adat, sebelum Belanda melibatkan diri dalam peperangan ini.

Islam juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan Kerajaan Pagaruyung dengan ditambahnya unsur pemerintahan seperti Tuan Kadi dan beberapa istilah lain yang berhubungan dengan Islam.

Penamaan negari Sumpur Kudus yang mengandung kata kudus yang berasal dari kata Quddūs (suci) sebagai tempat kedudukan Rajo Ibadat dan Limo Kaum yang mengandung kata qaum jelas merupakan pengaruh dari bahasa Arab atau Islam. Selain itu dalam perangkat adat juga muncul istilah Imam, Katik (Khatib), Bila (Bilal), Malin (Mu'alim) yang merupakan pengganti dari istilah-istilah yang berbau Hindu dan Buddha yang dipakai sebelumnya misalnya istilah Pandito (pendeta).

Hubungan dengan Belanda dan Inggris

Pada awal abad ke-17, kerajaan ini terpaksa harus mengakui kedaulatan Kesultanan Aceh dan mengakui para gubernur Aceh yang ditunjuk untuk daerah pesisir pantai barat Sumatra. Namun sekitar tahun 1665.

Masyarakat Minang di pesisir pantai barat bangkit dan memberontak terhadap gubernur Aceh. Dari surat penguasa Minangkabau yang menyebut dirinya Raja Pagaruyung mengajukan permohonan kepada VOC.

VOC waktu itu mengambil kesempatan sekaligus untuk menghentikan monopoli Aceh atas emas dan lada. Selanjutnya VOC melalui seorang regentnya di Padang, Jacob Pits yang daerah kekuasaannya meliputi dari Kotawan di selatan sampai ke Barus di utara Padang mengirimkan surat tanggal 9 Oktober 1668 ditujukan kepada Sultan Ahmadsyah, Iskandar Zur-Karnain, Penguasa Minangkabau yang kaya akan emas serta memberitahukan bahwa VOC telah menguasai kawasan pantai pesisir barat sehingga perdagangan emas dapat dialirkan kembali pada pesisir pantai.

Menurut catatan Belanda, Sultan Ahmadsyah meninggal dunia tahun 1674 dan digantikan oleh anaknya yang bernama Sultan Indermasyah.

Ketika VOC berhasil mengusir Kesultanan Aceh dari pesisir Sumatra Barat tahun 1666. Pengaruh Aceh pada Pagaruyung mulai melemah. Hubungan antara daerah-daerah rantau dan pesisir dengan pusat Kerajaan Pagaruyung menjadi erat kembali.

Saat itu Pagaruyung merupakan salah satu pusat perdagangan di pulau Sumatra, disebabkan adanya produksi emas di sana. Hal tersebut menarik perhatian Belanda dan Inggris untuk menjalin hubungan dengan Pagaruyung.

Terdapat catatan bahwa tahun 1684, seorang Portugis bernama Tomas Dias melakukan kunjungan ke Pagaruyung atas perintah Gubernur Jenderal Belanda.

Sekitar tahun 1750 kerajaan Pagaruyung mulai tidak menyukai keberadaan VOC di Padang dan pernah berusaha membujuk Inggris yang berada di Bengkulu, bersekutu untuk mengusir Belanda walaupun tidak ditanggapi oleh pihak Inggris.

Namun pada tahun 1781 Inggris berhasil menguasai Padang untuk sementara waktu dan waktu itu datang utusan dari Pagaruyung memberikan ucapan selamat atas keberhasilan Inggris mengusir Belanda dari Padang.

Menurut Marsden tanah Minangkabau sejak lama dianggap kaya dengan emas dan waktu itu kekuasaan raja Minangkabau disebutnya sudah terbagi atas raja Suruaso dan raja Sungai Tarab dengan kekuasaan yang sama.

Sebelumnya pada tahun 1732, regent VOC di Padang telah mencatat bahwa ada seorang ratu bernama Yang Dipertuan Puti Jamilan yang mengirimkan tombak dan pedang berbahan emas, sebagai tanda pengukuhan dirinya sebagai penguasa bumi emas.

Walaupun kemudian setelah pihak Belanda maupun Inggris berhasil mencapai kawasan pedalaman Minangkabau, tetapi mereka belum pernah menemukan cadangan emas yang signifikan dari kawasan tersebut.

Sebagai akibat konflik antara Inggris dan Perancis dalam Perang Napoleon di mana Belanda ada di pihak Perancis, maka Inggris memerangi Belanda dan kembali berhasil menguasai pantai barat Sumatra Barat antara tahun 1795 sampai dengan tahun 1819.

Thomas Stamford Raffles mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, yang sudah mulai dilanda peperangan antara kaum Padri dan kaum Adat.

Saat itu Raffles menemukan bahwa ibu kota kerajaan mengalami pembakaran akibat peperangan yang terjadi.

Setelah terjadi perdamaian antara Inggris dan Belanda pada tahun 1814, maka Belanda kembali memasuki Padang pada bulan Mei tahun 1819. Belanda memastikan kembali pengaruhnya di pulau Sumatra dan Pagaruyung, dengan ditanda-tanganinya Traktat London pada tahun 1824 dengan Inggris.

Runtuhnya Pagaruyung

"Dari reruntuhan kota Pagaruyung ini terdapat bukti bahwa di sini pernah berdiri sebuah peradaban Melayu yang luar biasa, menyaingi Jawa. Situs dari banyak bangunan kini tidak ada lagi, hancur karena perang yang masih berlangsung."

— Pendapat dari Thomas Stamford Raffles

Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-saat menjelang perang Padri, meskipun raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir barat jatuh ke dalam pengaruh Aceh, sedangkan Inderapura di pesisir selatan praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun resminya masih tunduk pada raja Pagaruyung.

Pada awal abad ke-19 pecah konflik antara Kaum Padri dan Kaum Adat. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara mereka. Seiring itu dibeberapa negeri dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak.

Mencapai puncaknya ketika Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815.

Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan ke Lubuk Jambi.

Karena terdesak oleh Kaum Padri, keluarga kerajaan Pagaruyung meminta bantuan kepada Belanda.

Sebelumnya mereka telah melakukan diplomasi dengan Inggris sewaktu Raffles mengunjungi Pagaruyung yang menjanjikan bantuan kepada mereka.

Pada tanggal 10 Februari 1821 Sultan Tangkal Alam Bagagarsyah, yaitu kemenakan dari Sultan Arifin Muningsyah yang berada di Padang] beserta 19 orang pemuka adat lainnya menandatangani perjanjian dengan Belanda untuk bekerja sama dalam melawan Kaum Padri.

Walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan kerajaan Pagaruyung.

Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Belanda.

Kemudian Belanda berhasil merebut Pagaruyung dari Kaum Padri, pada tahun 1824

Atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, Yang Dipertuan Pagaruyung Raja Alam Muningsyah kembali ke Pagaruyung, tetapi pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah, sultan terakhir di Minangkabau ini, wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.

Wilayah kekuasaan

Menurut Tomé Pires dalam Suma Oriental, tanah Minangkabau selain dataran tinggi pedalaman Sumatra tempat di mana rajanya tinggal, juga termasuk wilayah pantai timur Arcat (antara Aru dan Rokan) ke Jambi dan kota-kota pelabuhan pantai barat Panchur (Barus), Tiku dan Pariaman.

Dari catatan tersebut juga dinyatakan tanah Indragiri, Siak dan Arcat merupakan bagian dari tanah Minangkabau, dengan Teluk Kuantan sebagai pelabuhan utama raja Minangkabau tersebut. Namun belakangan daerah-daerah rantau seperti Siak, Kampar dan Indragiri kemudian lepas dan ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh.

Wilayah pengaruh politik Kerajaan Pagaruyung adalah wilayah tempat hidup, tumbuh, dan berkembangnya kebudayaan Minangkabau. Wilayah ini dapat dilacak dari pernyataan Tambo (legenda adat) berbahasa Minang ini

Dari Sikilang Aia Bangih

Hingga Taratak Aia Hitam

Dari Durian Ditakuak Rajo

Hingga Sialang Balantak Basi

Sikilang Aia Bangih adalah batas utara, sekarang di daerah Pasaman Barat, berbatasan dengan Natal, Sumatra Utara. Taratak Aia Hitam adalah daerah Bengkulu. Durian Ditakuak Rajo adalah wilayah di Kabupaten Bungo, Jambi. Yang terakhir, Sialang Balantak Basi adalah wilayah di Rantau Barangin, Kabupaten Kampar, Riau sekarang.

Secara lengkapnya, di dalam tambo dinyatakan bahwa Alam Minangkabau (wilayah Kerajaan Pagaruyung) adalah sebagai berikut:

Nan salilik Gunuang Marapi

Saedaran Gunuang Pasaman

Sajajaran Sago jo Singgalang

Saputaran Talang jo Kurinci

Dari Sirangkak nan Badangkang

Hinggo Buayo Putiah Daguak

Sampai ka Pintu Rajo Hilia

Hinggo Durian Ditakuak Rajo

Sipisau-pisau Hanyuik

Sialang Balantak Basi

Hinggo Aia Babaliak Mudiak

Sailiran Batang Bangkaweh

Sampai ka ombak nan badabua

Sailiran Batang Sikilang

Hinggo lauik nan sadidieh

Ka timua Ranah Aia Bangih

Rao jo Mapek Tunggua

Gunuang Mahalintang

Pasisia Banda Sapuluah

Taratak Aia Hitam

Sampai ka Tanjuang Simalidu

Pucuak Jambi Sambilan Lurah

Daerah Luhak Nan Tigo

Daerah di sekeliling Gunung Pasaman

Daerah sekitar Gunung Sago dan

Gunung Singgalang

Daerah sekitar Gunung Talang dan

Gunung Kerinci

Daerah Pariangan Padang Panjang dan

sekitarnya

Daerah di Pesisir Selatan hingga Muko-Muko

Daerah Jambi sebelah barat

Daerah yang berbatasan dengan Jambi

Daerah sekitar Indragiri Hulu hingga

Gunung Sahilan, Kampar

Daerah sekitar Gunung Sailan dan Singingi

Daerah hingga ke rantau pesisir sebelah timur

atau daerah Kabupaten Pelalawan

Daerah sekitar Danau Singkarak dan Batang

Ombilin

Daerah hingga Samudra Indonesia

Daerah sepanjang pinggiran Batang Sikilang,

Pasaman Barat

Daerah yang berbatasan dengan Samudra

Indonesia

Daerah sebelah timur Air Bangis (Sungai

Beremas)

Daerah di kawasan Rao dan Mapek Tunggua

Daerah perbatasan dengan Tapanuli selatan

Daerah sepanjang pantai barat Sumatra

Daerah sekitar Silauik dan Lunang

Daerah hingga Tanjung Simalidu

Daerah sehiliran Batang Hari

*) Pengaruh Kerajaan Pagaruyung

Pengaruh kerajaan Pagaruyung melingkupi hampir seluruh pulau Sumatra seperti yang ditulis William Marsden dalam bukunya The history of Sumatra (1784).

Beberapa kerajaan lainnya di luar Sumatra juga mengakui kedaulatan Pagaruyung, walaupun bukan dalam hubungan pemberian upeti.

Ada sebanyak 62 hingga 75 kerajaan kecil di Nusantara yang menginduk pada Pagaruyung, yang tersebar di Filipina, Brunei, Thailand, dan Malaysia, serta di Sumatra, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat di Indonesia. Hubungan tersebut dibedakan berdasarkan gradasi hubungan, yakni sapiah balahan

(garis keturunan perempuan), kuduang karatan (garis keturunan laki-laki), kapak radai, serta timbang pacahan yang merupakan keturunan kerajaan.

*) Sistem pemerintahan

*) Raja Pagaruyung

Adityawarman pada awalnya menyusun sistem pemerintahannya mirip dengan sistem pemerintahan yang ada di Majapahit.

Kemudian menyesuaikannya dengan karakter dan struktur kekuasaan kerajaan sebelumnya (Dharmasraya dan Sriwijaya) yang pernah ada pada masyarakat setempat.

Ibu kota diperintah secara langsung oleh raja, sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh Datuk setempat.

Pagaruyung memiliki sistem raja triumvirat yang disebut rajo tigo selo ("tiga orang raja yang bersila"), yang terdiri atas:

1. Raja Alam yang berkedudukan di

Pagaruyung;

2. Raja Adat yang berkedudukan di Buo

3. Raja Ibadat yang berkedudukan di Sumpur

Kudus.

*) Menteri ( pembesar ) kerajaan

Raja-raja Pagaruyung memiliki empat orang pembesar utama yang disebut Basa Ampek Balai, yaitu:

1. Bandaro yang berkedudukan di Sungai

Tarab

2. Makhudum yang berkedudukan di Sumanik

3. Indomo yang berkedudukan di Suruaso

4. Tuan Gadang yang berkedudukan di Batipuh

Belakangan, pengaruh Islam menempatkan Tuan Kadi yang berkedudukan di Padang Ganting menggeser kedudukan Tuan Gadang di Batipuh, dan bertugas menjaga syariah agama.

Sebagai aparat pemerintahan, masing-masing Basa Ampek Balai punya daerah-daerah tertentu tempat mereka berhak menagih upeti sekadarnya, yang disebut rantau masing-masing pembesar tersebut.

* Bandaro memiliki rantau di Bandar X,

rantau Tuan Kadi adalah di VII Koto dekat

Sijunjung,

* Indomo punya rantau di bagian utara Padang * Makhudum punya rantau di Semenanjung

Melayu, di daerah permukiman orang

Minangkabau di sana.

Selain itu dalam menjalankan roda pemerintahan, kerajaan juga mengenal aparat pemerintah yang menjalankan kebijakan dari kerajaan sesuai dengan fungsi masing-masing, yang sebut Langgam nan Tujuah.

Mereka terdiri dari :

Pamuncak Koto Piliang

Perdamaian Koto Piliang

Pasak Kungkuang Koto Piliang

Harimau Campo Koto Piliang

Camin Taruih Koto Piliang

Cumati Koto Piliang

Gajah Tongga Koto Piliang[

*) Pemerintahan Darek dan Rantau

Dalam laporannya, Tomé Pires telah memformulasikan struktur wilayah dari tanah Minangkabau dalam darek (land) dan rantau (sea/coast).

Walaupun untuk beberapa daerah pantai timur Sumatra seperti Jambi dan Palembang disebutkan telah dipimpin oleh seorang patih yang ditunjuk dari Jawa.

Kerajaan Pagaruyung membawahi lebih dari 500 nagari, yang merupakan satuan wilayah otonom pemerintahan.

Nagari-nagari ini merupakan dasar kerajaan, dan mempunyai kewenangan yang luas dalam memerintah.

Suatu nagari mempunyai kekayaannya sendiri dan memiliki pengadilan adatnya sendiri. Beberapa buah nagari kadang-kadang membentuk persekutuan.

Misalnya Bandar X adalah persekutuan sepuluh nagari di selatan Padang.

Kepala persekutuan ini diambil dari kaum penghulu, dan sering diberi gelar raja.

Raja kecil ini bertindak sebagai wakil Raja Pagaruyung.

Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun,

dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu.

Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto dan kemudian berkembang menjadi Nagari.

Biasanya setiap nagari yang dibentuk minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut.

Darek

Daerah Darek atau daerah inti Kerajaan Pagaruyung terbagi atas 3 luhak (Luhak Nan Tigo, yaitu Luhak Tak nan Data, belakangan menjadi Luhak Tanah Data, Luhak Agam dan Luhak Limopuluah). Sementara pada setiap nagari pada kawasan luhak ini diperintah oleh para penghulu, yang mengepalai masing-masing suku yang berdiam dalam nagari tersebut.

Penghulu dipilih oleh anggota suku, dan warga nagari untuk memimpin dan mengendalikan pemerintahan nagari tersebut. Keputusan pemerintahan diambil melalui kesepakatan para penghulu di Balai Adat, setelah dimusyawarahkan terlebih dahulu.

Di daerah inti Kerajaan Pagaruyung, Raja Pagaruyung tetap dihormati walau hanya bertindak sebagai penengah dan penentu batas wilayah.

Rantau

Raja Pagaruyung mengendalikan secara langsung daerah Rantau. Ia boleh membuat peraturan dan memungut pajak di sana. Rantau merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau.

Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau nan duo terbagi atas Rantau di Hilia (kawasan pesisir timur) dan Rantau di Mudiak (kawasan pesisir barat).

Masing-masing luhak memiliki wilayah rantaunya sendiri. Penduduk Tanah Datar merantau ke arah barat dan tenggara, penduduk Agam merantau ke arah utara dan barat, sedangkan penduduk Limopuluah merantau ke daerah Riau daratan sekarang, yaitu Rantau Kampar, Rokan dan Kuantan.

Selain itu, terdapat daerah perbatasan wilayah luhak dan rantau yang disebut sebagai Ujuang Darek Kapalo Rantau. Di daerah rantau seperti di Pasaman, kekuasaan penghulu ini sering berpindah kepada raja-raja kecil, yang memerintah turun temurun.

Di Inderapura, raja mengambil gelar sultan. Sementara di kawasan lain mengambil gelar Yang Dipertuan Besar.

*) Pembagian daerah rantau adalah sebagai

berikut:

*) Rantau Luhak Tanah Data

*) Rantau Nan Kurang Aso Duo Puluah atau

daerah Kabupaten Kuantan Singingi

Lubuak Ambacang

Lubuak Jambi

Gunuang Koto

Benai

Pangian

Basra

Sitanjua

Kopa

Taluak Ingin

Inuman

Surantiah

Taluak Rayo

Simpang Kulayang

Aia Molek

Pasia Ringgik

Kuantan

Talang Mamak

Kualo Enok

*) Ujuang Darek Kapalo Rantaunya

Anduriang Kayu Tanam

Guguak Kapalo Hilalang

Sicincin

Toboh Pakandangan

Duo Kali Sabaleh Anam Lingkuang

Tujuah Koto (Batu Kalang, Koto Baru, Koto Dalam, Tandikek, Sungai Durian, Sungai Sariak, dan Ampalu)

*) Rantau Luhak Agam

Tiku Pariaman

Pasaman Barat

Pasaman Timur

Ujuang Darek Kapalo Rantaunya

Palembayan

Silareh Aia

Lubuak Basuang

Kampuang Pinang

Simpang Ampek

Sungai Garinggiang

Lubuak Bawan

Tigo Koto

Garagahan

Manggopoh

*) Rantau Luhak Limopuluah

Mangilang

Tanjuang Balik

Pangkalan

Koto Alam

Gunuang Malintang

Muaro Paiti

*) Rantau Barangin

Rokan (Rambah, Tambusai, Kepenuhan, Kunto Darussalam, Rokan Ampek Koto)

Gunuang Sailan

Kuntu

Lipek Kain

Ludai

Ujuang Bukik

Batu Sanggan

Tigo Baleh Koto Kampar

Sibiruang

Gunuang Malelo

Tabiang

Tanjuang

Gunuang Bungsu

Muaro Takuih

Pangkai

Binamang

Tanjuang Abai

Pulau Gadang

Baluang Koto Sitangkai

Tigo Baleh

Lubuak Aguang

Limo Koto Kampar (Kuok, Bangkinang, Salo, Rumbio, Aia Tirih)

Taratak Buluah

Pangkalan Indawang

Pangkalan Kapeh

Pangkalan Sarai

Koto Laweh

*) Sementara kawasan Rantau Pasisia Panjang atau Banda Sapuluah (Bandar Sepuluh) dipimpin oleh Rajo nan Ampek (4 orang yang bergelar raja; Raja Airhaji, Raja Bungo Pasang, Raja Kambang, Raja Palangai).

Kawasan ini merupakan semacam konfederasi dari 10 daerah atau nagari (negeri), yang masing-masing dipimpin oleh 10 orang penghulu.

*) Nagari-nagari tersebut adalah

Airhaji

Bungo Pasang atau Painan Banda Salido

Kambang

Palangai

Lakitan

Tapan

Tarusan

Batang Kapeh

Ampek Baleh Koto Kabupaten Mukomuko

Limo Koto Kabupaten Mukomuko

Nagari-nagari ini kemudian dikenal sebagai bagian dari Kerajaan Inderapura, termasuk daerah Anak Sungai, yang mencakup lembah Manjuto dan Airdikit (disebut sebagai nagari Ampek Baleh Koto), dan Muko-muko (Limo Koto).

Selain ketiga daerah-daerah rantau tadi, terdapat suatu daerah rantau yang terletak

di wilayah Semenanjung Malaya (Malaysia sekarang). Beberapa kawasan rantau tersebut menjadi nagari, kemudian masyarakatnya membentuk konfederasi (semacam Luhak), dan pada masa awal meminta dikirimkan raja sebagai pemimpin atau pemersatu mereka kepada Yang Dipertuan Pagaruyung.

Kawasan tersebut dikenal sebagai Negeri Sembilan, nagari-nagari tersebut adalah

Jelai

Jelebu

Johol

Klang

Naning

Pasir Besar

Rembau

Seganas

Sungai Ujong

Rajo Tigo Selo merupakan sebuah institusi tertinggi dalam kerajaan Pagaruyung yang dalam tambo adat disebut Limbago Rajo. Tiga orang raja masing-masing terdiri dari Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat yang berasal dari satu keturunan. Ketiga raja dalam berbagai tulisan tentang kerajaan Melayu Minangkabau ditafsirkan sebagai satu orang raja. Itulah sebabnya sejarah mencatat bahwa raja Melayu sewaktu didatangi Mahisa Anabrang dari Singosari yang memimpin ekspesidi Pamalayu bernama Tribuana Raja Mauli Warmadewa. Arti kata tersebut adalah tiga raja penguasa bumi yang berasal dari keluarga Mauli Warmadewa.

Antara anggota Raja Tigo Selo selalu berusaha menjaga hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan cara saling mengawini dengan tujuan untuk memurnikan darah kebangsawanan di antara mereka, juga untuk menjaga struktur tiga serangkai kekuasaan agar tidak mudah terpecah belah.

Raja Alam merupakan yang tertinggi dari kedua raja; Raja Adat dan Raja Ibadat. Raja Alam memutuskan hal-hal mengenai kepemerintahan secara keseluruhan. Raja Adat mempunyai tugas untuk memutuskan hal-hal berkaitan dengan masalah peradatan, dan Raja Ibadat untuk memutuskan hal-hal yang menyangkut keagamaan, Dalam kaba Cindua Mato kedudukan dan fungsi dari raja-raja ini dijelaskan dalam suatu jalinan peristiwa. Menurut A.A.Navis dalam Alam Terkembang jadi Guru (PT Pustaka Grafitipers 1984, Jakarta) kaba Cindua Mato sebenarnya adalah Tambo Pagaruyung yang diolah jadi kaba. Dalam konteks ini, informasi dari kaba Cindua Mato tentang tugas raja-raja tersebut merupakan sesuatu yang dapat juga dijadikan rujukan. Sedangkan institusi untuk Raja Adat dan Raja Ibadat disebut sebagai Rajo Duo Selo.

1. RAJO ALAM

Pucuk pemerintahan kerajaan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung mempunyai struktur tersendiri. Kekuasaan pemerintahan dipegang oleh tiga orang raja; Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat. Masing-masing raja mempunyai tugas, kewenangan dan mempunyai daerah kedudukan tersendiri. Raja Alam membawahi Raja Adat dan Raja Ibadat. Raja Alam berkedudukan di Pagaruyung. Semua penjelasan mengenai kedudukan dan kekuasaan raja-raja tersebut pada dasarnya bertolak dari uraian yang ada di dalam tambo dan pada kaba Cindua Mato, karena kaba Cindua Mato dianggap sebagai tambo Pagaruyung yang dikabakan.

Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat ketiganya disebut Rajo Tigo Selo Sedangkan Raja Adat dan Raja Ibadat disebut Rajo Duo Selo Ketiga-tiga raja berasal dari keturunan yang sama. Masing-masing selalu berusaha untuk saling bersatu dalam jalinan perkawinan. Mungkin hal ini diperlukan untuk menjaga keutuhan kekuasaan Rajo Tigo Selo, dan untuk mempertahankan kebangsawan keturunan mereka.

Raja Alam merupakan kepala pemerintahan, sedangkan Raja Adat mengurus masalah-masalah peradatan dan Raja Ibadat mengurus masalah-masalah keagamaan dan pendidikan.

Masing-masing raja mempunyai daerah kedudukan masing-masing. Raja Alam berkedudukan di Pagaruyung, Raja Adat berkedudukan di Buo dan Raja Ibadat berkedudukan di Sumpur Kudus. Hal itu berarti bahwa Raja Adat maupun Raja Ibadat tidaklah berasal dari Buo dan Sumpur Kudus, sebagaimana pendapat sebagian orang yang kurang memahami konstelasi dan hubungan antara raja-raja tersebut.

Selain mempunyai daerah kedudukan tersendiri, Raja Alam menguasai daerah-daerah rantau. Pada setiap daerah Raja Alam mengangkat wakil-wakilnya yang diberi kewenangan mewakili kekuasaan raja disebut “urang gadang” atau “rajo kaciak”. Mereka setiap tahun mengantarkan “ameh manah” kepada raja. Daerah-daerah rantau tersebut terbagi dalam dua kawasan yang lebih luas; rantau pantai timur dan rantau pantai barat.

Yang termasuk ke dalam rantau pantai timur adalah; Rantau nan kurang aso duo puluah (di sepanjang Batang Kuantan) disebut juga Rantau Tuan Gadih; Rantau duo baleh koto (sepanjang batang Sangir) disebut juga Nagari Cati Nan Batigo; Rantau Juduhan (kawasan Lubuk Gadang dan sekitarnya) disebut juga Rantau Yang Dipertuan Rajo Bungsu; Rantau Bandaro nan 44 (sekitar Sei.Tapung dan Kampar); Negeri Sembilan

Sedangkan rantau pantai barat mencangkup daerah-daerah; Bayang nan 7, Tiku Pariaman, Singkil Tapak Tuan disebut juga Rantau Rajo; Bandar X disebut juga Rantau Rajo Alam Surambi Sungai Pagu.

2. RAJO ADAT

Raja Adat yang berkedudukan di Buo adalah salah seorang dari Rajo Duo Selo di samping Raja Ibadat yang berkedudukan di Sumpur Kudus. Juga menjadi salah seorang dari Rajo Tigo Selo yang dikepalai oleh Raja Alam. Raja Adat berwenang memutuskan perkara-perkara masalah peradatan, apabila pihak Basa Ampek Balai tidak dapat memutuskannya. Apabila ada persoalan adat yang tidak mungkin pula dapat diputuskan oleh Raja Adat, persoalan tersebut dibawa kepada Raja Alam. Raja Alam lah memutuskan segala sesuatu yang tidak dapat diputuskan oleh yang lain.

Seorang Portugis bernama Thomas Diaz pada tahun 1684 diizinkan Belanda untuk memasuki daerah pedalaman Minangkabau. Menurut laporan Thomas Diaz, dia bertemu dengan Raja Adat di Buo. Raja Adat tinggal pada sebuah rumah adat yang berhalaman luas dan mempungai pintu gerbang. Di pintu gerbang pertama dikawal sebanyak 100 orang hulubalang sedangkan di pintu gerbang kedua dikawal oleh empat orang dan dipintu masuk dijaga oleh seorang hulubalang. Dalam menyambut Thomas Diaz, Raja Adat dikeliling oleh para tokoh-tokoh berpakaian haji. Kemudian Raja Adat memberi Thomas Diaz gelar kehormatan Orang Kaya Saudagar Raja Dalam Istana.

3. RAJO IBADAT

Raja Ibadat yang berkedudukan di Sumpur Kudus adalah salah seorang dari Rajo Duo Selo di samping Raja Adat yang berkedudukan di Buo. Juga menjadi salah seorang dari Rajo Tigo Selo yang dikepalai oleh Raja Alam Raja Ibadat berwenang memutuskan perkara-perkara masalah keagamaan apabila pihak Basa Ampek Balai tidak dapat memutuskannya. Apabila ada masalah-masalah keagamaan yang tidak dapat diputuskan oleh Raja Ibadat, persoalan tersebut dibawa kepada Raja Alam. Raja Alam lah memutuskan segala sesuatu yang tidak dapat diputuskan oleh yang lain.

4. BASA AMPEK BALAI

Dalam struktur pemerintahan kerajaan Pagaruyung, Rajo Tigo Selo atau Raja Tiga Sila, dibantu oleh orang besar atau Basa yang kumpulannya disebut Basa Ampek Balai

*) Daftar Raja-Raja Suwarnabhumi ~

Minangkabau dan Pagaruyung

1. Adityawarman

2. Ananggawarman ( anak Adityawarman )

3. Dewang Pandan Putowano

(Tuanku Marajo Sati I)

menantu Ananggawarman

4. Puti Panjang Rambut I

(Bundo Kandung)

5. Dewang Ramowano

(Cindurmato)

6. Dewang Ranggowano

(Sultan Lembang Alam)

7. Dewang Sari Deowano

(Tuanku Marajo Sati II)

Yamtuan Bakilap Alam

8. Dewang Sari Magowano

(Sri Raja Maharaja)

Yamtuan Pasambahan

9. Sultan Alif I Khalifatullah

Yamtuan Rajo Gamuyang I

10. Sultan Ahmadsyah

Yamtuan Barandangan

11. Sultan Alif II

anak Sultan Ahmadsyah

12. Yamtuan Rajo Bagagar Alamsyah

anak Sulthan Alif II

13. Yamtuan Rajo Bagewang

anak dari Yamtuan Rajo Pangat I

cicit Sultan Alif I

14. Yamtuan Rajo Gamuyang II

anak dari Yamtuan Rajo Bagewang

15. Sultan Zainal Arifin Muningsyah

16. Yang Dipertuan Patah

anak dari Muningsyah

17. Sultan Tangkal Syariful Alam Bagagarsyah

anak dari YDP Patah.

*) Silsilah Raja Pagaruyung

Dt Sri Maharaja kawin dengan Puti Sariputi, beranak dua:

Rajo Natan Sang Seto Sangkalo, Dt Suri

Dirajo dan Puti Indo Jalito

Rajo Natan kawin dg PR Jani,

beranak : PR Kumani

Puti Indo Jalito kawin dg Hyang Indojati Tuan Cati, beranak :

PR Jalito

PR Sudah

Dt Sri Maharajo Nan Banego-nego

Puti Reno Mandi

Dt Parpatih Nan Sabatang

Dt Katumanggungan

PR Sudi.

Puti Reno Jalito kawin dg Adityawarman, beranak:

Ananggawarman

Dewi Reno Dewi Ranggowani

Ananggawarman kawin dg Puti Reno Dewi, beranak :

Puti Reno Panjang Rambut I

Puti Reno Selaras Pinang Masak

Puti Reno Bungsu (Puti Silindung Bulan).

Dewi Reno Dewi kawin beranak :

Dewang Pandan Putowano.

Dewang Pandan Putowano

(Tuanku Marajo Sati I) kawin dengan Puti Reno Bungsu (Puti Silindung Bulan), beranak

Puti Panjang Rambuik II.

Puti Panjang Rambuik II beranak :

Dewang Pandak Salasiah Banang Raiwano

(Dang Tuanku)

Dewang Ramowano

(Cindurmato, lain ayah)

Dewang Pandak Salasiah Banang Raiwano kawin dengan PR Kamuniang Mego (Puti Bungsu), beranak :

Dewang Sari Dewano

Dewang Sari Dewano (Tuanku Marajo Sati II) kawin dengan PR Rani Dewi, beranak :

Dewang Sari Magowano

PR Mahligai Cimpago Dewi.

Dewang Ramowano (Cindurmato) kawin dg PR Marak Rindang Ranggowani, beranak :

PR Rani Dewi

Dewang Ranggowano.

Dewang Ranggowano (Sutan Lembang Alam) kawin dg PR Maharani, beranak :

PR Nalo Nali

PR Nango

Dewang Sari Magowano (Sri Raja Maharaja) kawin dg PR Nalo Nali, beranak :

Rajo di Buo III

PR Jalito

Puto Rajo Bawang

PR Nango beranak

PR Lenggo Geni

Puto Buyung Rajo Nasution.

Puto Rajo Bawang kawin dg PR Lenggo Geni.

Banang Sutowano kawin dengan PR Jalito, beranak :

PR Pomaisuri

PR Mahligai kawin dengan Dewang Patualo Sanggowano Rajowano, beranak

BPD Sutowano,

PR Suto Dewi.

Rajo di Buo III kawin dengan PR Suto Dewi, beranak

Sultan Alif I.

Sultan Alif I kawin dengan PR Pomaisuri, beranak :

Sultan Syaiful Aladdin

PR Awan Tasingik

Yamtuan Rajo Kuaso I

PR Sadi

PR Rampiang

Yamtuan Rajo Gamuyang I

Yamtuan Rajo Gamuyang I kawin dg Puti Andam Dewi, beranak :

Yamtuan Rajo Manguyang

Yamtuan Rajo Manguyang beranak :

Puti Sari Antan

Yamtuan Rajo Gandam

Yamtuan Rajo Pangat I

Yamtuan Rajo Pangat I beranak

Yamtuan Rajo Bagewang

Yamtuan Rajo Bagewang kawin dengan PR Kumalo, beranak :

Yamtuan Rajo Gamuyang II

Yamtuan Rajo Gamuyang II kawin dengan TG Reno Suto.

TG Reno Suto anak dari Rajo Bagagarsyah Alam dg TGR Janggo, anak dari PR Kuniang dg Yamtuan Rajo Pingai, PR Kuniang anak dari PR Baruaci dg Sultan Ahmadsyah, ia bersaudara dg Sultan Alif II

Yamtuan Rajo Gamuyang kawin dengan TG Reno Suto, beranak :

TG Aluih

Yamtuan Bawang

( Sultan Alam Muningsyah I )

Yamtuan Alam Perhimpunan.

Sultan Ahmadsyah anak dari Sultan Syaiful Aladin dg Puti Reno Kumalo.

Ia bersaudara dengan YDP Sari Maharajo I, Yamtuan Arif Badrunsyah, Yamtuan Buyuang.

Rajo Bagagarsyah Alam anak dari Sultan Alif II dengan TG Saruaso III.

Ia bersaudara kandung dg : YDP Tuanku Rajo Sumpur, PR Duato, PR Jati, TG Saruaso IV.

Yamtuan Muningsyah I kawin dengan PR Intan, beranak :

Sultan Muningsyah II (Patah)

Yamtuan Pandak Raja Beringin

(Sultan Alam Muningsyah I)

YDR Bakumih

Sultan Muningsyah II kawin dengan TGR Janji, beranak :

Yamtuan Bujang Nan Bakundi,

Sultan Syariful Alam Bagagarsyah

TGR Sori

TG Tembong

YDP Batuhampar

*) Kisah Dinasti Devang atau Dewang

Dari Sumber Cerita Minangkabau.

1) Dewang Pandan Putowano

Dia yang bergelar Tuanku Marajo Sati I

Dia adalah adik kandung dari Dewang Bonang Sutowano yang ikut gurunya Syekh Maulana Maghribi berkelana berdakwah.

Dewang Pandan Putowano menikah dengan Puti Reno Bungsu (Puti Silindung Bulan), putri bungsu dari Ananggawarman dan Puti Reno Dewi. Diduga ayahnya Dewang Putowano ini adalah mamak rumah dari Ananggawarman, atau saudara laki-laki dari Puti Reno Dewi. Tidak diketahui apakah beliau yang disebut Wijaya Warman atau Putowano sendiri.

2. Puti Panjang Rambut II

Bundo Kanduang yang bernama asli Puti Panjang Rambut (II) ini adalah putri dari Tuanku Marajo Sati (Dewang Pandan Putowano). Ia adalah kakak kandung dari Dewang Banu Rajowano (Tuanku Rajo Bagindo, Rajo Mudo).Dewang Banu Rajowano menjadi raja di Ranah Sikalawi yang berpusat di Rejang Lebong, yang wilayah kekuasaanya sampai ke Sangir, Sungai Pagu, bersebelahan dengan wilayah kekuasaan Rajo Tiang Bungkuk (kerajaan Sungai Ngiang Kerinci).Puti Panjang Rambut mengambil nama yang sama dengan kakak ibu kandungnya (Puti Panjang Rambut I) yang pergi ke Jambi. Karena Puti Panjang Rambut belum menikah, maka Basa Ampek Balai ragu untuk mengangkatnya sebagai raja menggantikan ayahnya Tuanku Marajo Sati. Maka Basa Ampek Balai sepakat untuk mengangkat sepupunya, Dewang Pati Rajowano (Sultan Marajo Hakikat), putra dari abang kandung Tuanku Marajo Sati, yakni Dewang Bonang Sutowano (murid Syekh Maulana Maghribi). Ternyata pada hari penobatan, Dewang Pati Rajo Rajowano malah meletakkan mahkota kerajaan keatas kepala sepupunya, Puti Panjang Rambut. Maka jadilah Puti Panjang Rambut menjadi raja Minangkabau dengan gelar Yang Dipertuan Putri Rajo Alam Minangkabau.Ratu Minangkabau ini kemudian menikah dengan Anggun Cindai Nan Gunawan alias Tuan Keramat Sati alias Bujanggo Salamat alias Hyang Indo Jati, dari dinasti Makhudum di Sumanik, Bukit Siguntang-guntang Marapi. Hyang Indo Jati sempat diutus ke Sungai Ngiang Kerinci (Hulu Rawas) untuk berperang dengan Cina Kwantung. Puti Panjang Rambut mewarisi Istana Silinduang Bulan dari ibunya dan istana Ulak Tanjung Bungo dari ayahnya. Ibunya bernama Puti Reno Bungsu (Puti Silinduang Bulan). Istana Melayu Kampung Dalam diserahkannya kepada sepupunya Sultan Marajo Hakikat, tapi batal jadi raja.Ibu Puti Panjang Rambu yang bernama Puti Reno Bungsu adalah putri dari Ananggawarman. Jadi Puti Panjang Rambut ini adalah cucu dari Adityawarman.Puti Reno Bungsu mempunyai dua kakak perempuan bernama Puti Reno Selaras Pinang Masak dan Puti Panjang Rambut I.Diduga Tuanku Marajo Sati I, ayah Puti Panjang Rambut adalah mamak kandung dari ibunya sendiri. Bisa jadi ialah yang disebut Wijaya Warman dalam Silsilah Rajo Pagaruyung. Karena memang Ananggawarman tidak mempunyai seorang putra pun.Selepas mangkatnya Ananggawarman ini sempat terjadi konflik di istana karena tidak ada nya anak laki2 Ananggawarman.

3. Dang Tuanku

Ia adalah putra dari Puti Panjang Rambut II. Istrinya bernama Puti Kemuning Mego alias Puti Kemala Sani. Datuk Makhudum Sati, salah seorang anggota Basa Ampek Balai tinggal di Tapan. Tuanku Sumpur Kudus (Rajo Mangkuto Alam) tinggal di Inderapura. Raja Saruaso kawin dengan gadis Inderapura lalu berangkat ke Muko-muko, beranak Sutan Galomatsyah, menjadi raja di Manjunto.

Dang Tuanku menjadi raja di Inderapura menggantikan Sultan Baridinsyah, kakak dari Sultan Usmansyah yang berada di Toraja.

Putra-putri Dang Tuanku adalah:

1. Dewang Sari Deowano

(Tuanku Marajo Sati II)

2. Puti Reno Pati Dewi

3. Dewang Peniting Putowano

4. Puti Reno Sari Pati

Puti Reno Pati Dewi menikah dengan kerabat raja Rao, dikaruni anak Puti Reno Jato Jati. Dewang Peniting Putowano menjadi Raja Kemiting, Kerinci yang beranak Raja Ceranting, raja di Serampas dan Sungai Tenang.

Sementara Puti Reno Sari Pati menjadi Putri Sang Hyang Rani Raiwani, menikah dengan Sang Hyang Pertalo Buwano, berpindah-pindah dari Inderapura ke Sangiang.

Sepeninggal Dang Tuanku (mengirap ke Inderapura), yang menjadi raja di Minangkabau adalah Cindurmato dengan gelar Rajo Mudo.

Kemudian dilanjutkan oleh Sultan Lembang Alam, putra Cindurmato dengan Puti Reno Bulan, adik Puti Bungsu istri Dang Tuanku. Sultan Lembang Alam juga bernama kecil Dewang Ramowano (Rajo Bagindo) alias Sang Hyang Pertalo Buwano yang juga memerintah sampai ke Sangir.

Adik perempuannya bernama Puti Lembak Tuah, bernama kecil Puti Lembak Tuah.

Setelah Dewang Ramowano, tahta Minangkabau kembali dipegang oleh keturunan Bundo Kanduang, yaitu Dewang Sari Deowano yang datang dari Inderapura.

4. Dewang Sari Deowano

(Tuanku Marajo Sati II)

( 1514 -1539 )

Ia menjadi raja di Minangkabau. Menikah dengan Puti Reno Rani Dewi. di masanya terjadi pemberontakan dan kudeta yang dilakukan oleh Dewang Pamowano Parakarama dari Ulu Tebo.

Ia sempat menyingkir ke Lipat Kain dan Kampar Kiri. sementara istrinya dan anak-anaknya menyingkir ke Koto Anau. Ia sempat menikah lagi dengan putri Aceh bernama Putri Ratna Kemala yang tidak dikaruniai anak.

Putra-putri Deowano dengan Puti Reno Rani Dewi:

1. Dewang Sari Megowano

2. Puti Reno Bulian

(permaisuri Raja Koto Anau)

3. Puti Reno Kayangan Pagadewi

(permaisuri Raja Sungai Nyalo, XI Koto

Tarusan)

4. Puti Reno Mahligai Cimpago Dewi

(permaisuri Raja Sungai Tarab [Tuan Titah?]

5. Dewang Patualo Sanggowano Rajowano,

6. Datuk Bandaro Putih VI

( Datuk Gudam )

Puti Pinang Masak diutus ke Kerajaan Cupak, Solok (bekas Kerajaan Tanjung Limau Purut) untuk dikawinkan dengan Tuanku Rajo Disambah yang tidak beroleh putra dari permaisurinya.

Dari pernikahannya ini, Tuanku Rajo Disambah memperoleh putra yang kelak menjadi raja Cupak dengan gelar Tuanku Rajo Usali.

Di masa vakumnya dinasti Tuanku Rajo Disambah, kekuasaan Cupak diambil alih oleh Datuk Yang Dipatuan.

Puti Pinang Masak adalah putri kedua dari Puti Tabur Urai. Puti Tabur Urai sendiri adalah adik ipar dari Raja Sangiang.

5. Dewang Sari Megowano

( 1539- )

Ia bergelar Daulat Yang Dipertuan Rajo Maharajo, atau Raja Maharaja.

Ibunya Kambang Bandahari, putranya Sutan Lembang Alam dan Putrinya Puti Lembak Tuah

Dalam kaba Cindurmato dikatakan bahwa sepeninggal Dang Tuanku ke Inderapura.

Yang menjadi raja di Minangkabau adalah Cindurmato sendiri, yang menikahi Putrii Tuan Titah Di Sungai Tarab, Datuk Bandaro, yang bernama Puti Lenggogeni tapi sayangnya tidak dikaruniai anak.

Selain itu Cindurmato juga menikahi Putri dari Rajo Bagindo yang bernama Puti Bungsu, beroleh dua anak : Sultan Lembang Alam (Sutan Amirullah) dan Puti Lembak Tuah.

Sutan Amirullah kemudian menggantikan Cindurmato menjadi raja.

*) Timeline Raja Alam Minangkabau, yang dikumpulkan dari berbagai sumber.

1.Dewang Palokamo Rajo Deowano.

Alias: Adityavarman Maulivarmadewa, Tuan Suravaca, Sultan Pandak

Ibu: Puti Reno Marak Janggo alias Dara Jingga (Dharmasraya)

Ayah: Adwayabrahma (Singosari)

Lahir: Siguntur

Wafat: Suruaso

Istri: Puti Reno Jamilan

Anak:

– Dewang Baremah Sanggowano

– Puti Dewi Reno Rani

Periode Berkuasa: 1347-1375 masehi.

Kedudukan: Bukit Gombak

Istana: Malayapura.

2. Dewang Baremah Sanggowano

Alias: Ananggavarman Maulivarmadewa, Raja Baremah, Sultan Baramah.

Ibu: Puti Reno Jamilan

Ayah: Dewang Palokamo Rajo Deowano

Lahir: Suruaso

Wafat: Suruaso

Istri: Puti Reno Dewi

Anak:

– Puti Salareh Pinang Masak

– Puti Panjang Rambut

– Puti Bungsu alias Puti Silindung Bulan.

Periode Berkuasa: 1376-1417 masehi

Hubungan dgn Raja sebelumnyo: Anak Kandung

Kedudukan: Suruaso

Istana: Pagaruyung

3. Dewang Pandan Putowano

Alias: Vijayavarman Maulivarmadewa alias YDP Maharaja Sakti I

Ibu: Puti Dewi Reno Rani

Ayah: Bangsawan Bungo Setangkai.

Lahir: Suruaso

Wafat: Suruaso

Istri: Puti Bungsu alias Puti Silindung Bulan

Anak:

– Puti Panjang Rambut II

Periode Berkuasa: 1418-1440 (asumsi 20 tahun)

Hubungan dgn Raja sebelumnyo: Kemenakan sekaligus Menantu.

Kedudukan: Suruaso

Istana: Pagaruyung

4. Puti Panjang Rambut II

Alias: Bundo Kandung, YDP Putri Alam Minangkabau, Mande Rubiah (saat di Lunang)

Ayah: Dewang Pandan Putowano

Ibu: Puti Bungsu alias Puti Silindung Bulan

Lahir: Suruaso

Wafat: Lunang

Suami: Bujanggo Selamat.

Anak:

– Dewang Pandan Salasiah Bonang Raiwano alias Dang Tuanku (anak bersama Bujang Selamat)

– Dewang Cando Ramowano alias Cindur Mato (anak Bujanggo Salamat bersama Kambang Bandohari yang diangkat jadi anak oleh Puti Panjang Rambut II)

Periode Berkuasa: 1440-1470 masehi (asumsi berkuasa selama 30 tahun)

Hubungan dgn Raja sebelumnya: Anak Kandung

Kedudukan: Suruaso

Istana: Pagaruyung

5. Dewang Cando Ramowano

Alias: Cindur Mato, YDP Sati.

Ayah: Bujanggo Salamat

Ibu: Kambang Bandohari

Lahir: Suruaso

Wafat: Lunang

Istri:

– Puti Lenggo Geni

– Puti Reno Bulan

– Puti Selendang Cayo/Cahayo

Anak:

Anak bersama Puti Lenggo Geni

– Lenggang Alam

Anak Bersama Puti Reno Bulan:

– Lembang Alam

– Puti Lembak Tuah

Anak Bersama Puti Selendang Cahayo:

– Dewang Ranggowano

Periode Berkuasa: 1470-1500 masehi (asumsi berkuasa selama 30 tahun)

Hubungan dgn Raja sebelumnya: Anak Angkat

Kedudukan: Suruaso

Istana: Pagaruyung

6. Dewang Sari Dewano

Alias: Maharaja Dewana alias YDP Maharaja Sakti II, Sutan Alam Dunia/Dunie

Ayah: Dewang Pandan Salasiah Banang Raiwano alias Dang Tuanku Syah Alam

Ibu: Puti Bungsu II

Istri:

– Puti Dewi Ranggowani

– Putri Ratna Keumala (Cerai)

Anak:

Semua anak dari Istri Puti Dewi Ranggowani:

– Dewang Sari Megowano

– Dewang ………………… alias Indo Naro

– Puti Reno Bulian

– Puti Reno Kahyangan

– Puti Reno Mahligai Cimpago Dewi

Lahir: Suruaso

Wafat: ?

Hubungan dengan Raja sebelumnyo: Kemenakan

Periode Berkuasa: 1500-1514 masehi, dikudeta, dan kembali berkuasa 1524-1539 masehi.

Kedudukan: Suruaso

Istana: Pagaruyung

7. Dewang Palokamo Pamowano

Alias: Raja Parakrama

Ayah: ?

Ibu: ?

Lahir: Ulu Tebo

Wafat: Jambi

Istri: ?

Anak: ?

Periode Berkuasa: 1514-1524 masehi

Hubungan dengan Raja sebelumnyo: Kudeta

Kedudukan: Ulu Tebo Jambi dan Suruaso

Istana: Ulu Tebo dan Pagaruyung

8. Dewang Sari Megowano

Alias: YDP Rajo Maharajo, Tuanku Rajo Tuo

Ayah: Maharaja Dewana

Ibu: Puti Dewi Ranggowani

Lahir: Suruaso

Wafat: Suruaso

Istri:

– Puti Nalo Nali (Meninggal Dunia)

– Poyang Rani Reno Jati

Anak:

Semua anak bersama Poyang Rani Reno Jati:

– Dewang Pandan Sari Deowano

– Dewang Banang Sari Sutowano

– Dewang Pinang Sari Rajowano

Periode Berkuasa: 1540-1570 (asumsi berkuasa 30 tahun)

Hubungan dengan Raja sebelumnyo: Anak Kandung

Kedudukan: Suruaso

Istana: Pagaruyung

9. Dewang ………………..

Alias: Sultan Indo Naro, YDP Tuanku Alam Sati

Ayah: Maharaja Dewana

Ibu: Puti Dewi Ranggowani

Istri: ?

Anak: ?

Periode Berkuasa: 1570-1580 masehi (menggantikan abang kandungnya, Dewang Sari Megowano yg mengundurkan diri karena kematian istri pertamanya, Puti Nalo Nali)

Hubungan dengan Raja sebelumnya: Adik Kandung.

Kedudukan: Indropuro lalu ke Suruaso

Istana: Indropuro lalu Pagaruyung.

Periode 1580-1600 masehi adalah periode bergolak dimana upaya penjajahan pesisir semakin intensif dilakukan oleh Imperialis Eropa seperti Portugis dan Belanda, sebagian kaba dan teks mengatakan bahwa kebanyakan keluarga Raja Pagaruyung membangun basis baru di daerah Pesisir Barat Minangkabau untuk membendung serangan pihak luar, dan salah satu Perang besar yang tercatat dalam sejarah adalah Perang Bayang dimana hampir sebagian besar isi Kerajaan pindah dan menetap di Pesisir dan meninggalkan Suruaso dalam keadaan hampir kosong.

Hingga muncullah Trah baru Raja Minangkabau, seorang yang bergelar Sultan, yang memulai babak baru kerajaan yang menggantikan era Trah Para Dewang, Sultan Alif Khalifatullah alias Nur Alam, yg diperkirakan mulai berkuasa sekitar 1605 Masehi.

Pagaruyung yang sebelumnya merupakan nama Istana saat itu berubah menjadi nama Kerajaan, Kerajaan Pagaruyung.

*) Sultan Terakhir Pagaruyung

Sultan Tunggal Alam Bagagar atau Sultan Alam Bagagar Syah

Lahir di Pagaruyung pada 1789,

Wafat di Batavia 12 Februari 1849

adalah seorang kemenakan dari raja Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah.

Versi lain mengatakan bahwa Sultan Tunggal Alam Bagagar Syah adalah cucu patrilineal dari Sultan Arifin Muningsyah.

*) Biografi

Pada tahun 1815, kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang kerajaan Pagaruyung, menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan ke Lubukjambi. Sultan Tunggal Alam Bagagar, waktu itu telah berumur 26 tahun dan berada di Padang.

Pada tanggal 10 Februari 1821

bersama 19 orang pemuka adat lainnya ikut menandatangani perjanjian dengan Belanda untuk bekerjasama dalam melawan kaum Padri.

Beberapa sejarahwan menganggap bahwa Sultan Tunggal Alam Bagagar sebetulnya tidak berhak melakukan perjanjian dengan mengatasnamakan kerajaan Pagaruyung, yang kemudian akibat dari perjanjian ini, dijadikan oleh Belanda sebagai tanda penyerahan kedaulatan Pagaruyung.

Pada 10 Februari 1821, Sultan Tangkal Alam Bagagarsyah melakukan perjanjian dengan pemerintah Belanda untuk bekerja sama melawan kaum Padri dan mengambil alih kembali kerajaan Pagaruyung.

Setelah pasukan Belanda berhasil memukul mundur kaum Padri dari wilayah Pagaruyung, pemerintah Hindia Belanda mengambil alih kekuasaan wilayah Pagaruyung dan menempatkan raja sebagai bawahannya. Kemudian Sultan Tangkal Alam Bagagarsyah meminta bantua kaum Padri untuk menyingkirkan Belanda, tetapi upaya tersebut gagal dan ia dibuang ke wilayah Batavia dengan tuduhan penghianatan terhadap perjanjian yang telah dibuat.

Kemudian setelah Belanda berhasil merebut Pagaruyung dari kaum Padri, Sultan Tunggal Alam Bagagar diangkat oleh pemerintah Hindia Belanda hanya sebagai Regent Tanah Datar, walaupun pada sisi lain ia menganggap dirinya sebagai Raja Alam, namun pemerintah Hindia Belanda dari awal telah membatasi kewenangannya atas wilayah kerajaan Pagaruyung itu sendiri.

Pada tanggal 2 Mei 1833, Sultan Tunggal Alam Bagagar ditangkap oleh pasukan Kolonel Elout di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Selanjutnya dibuang ke Batavia (Jakarta sekarang) sampai akhir hayatnya.

Ia dimakamkan di pekuburan Mangga Dua, kemudian pada tahun 1975 atas izin pemerintah Indonesia kuburannya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan.

*) Peninggalan Kerajaan Pagaruyung

Istano Basa yang lebih terkenal dengan nama Istana Pagaruyung, adalah sebuah istana yang terletak di kecamatan Tanjung Emas, kota Batusangkar, kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat. istano Basa ini berjarak lebih kurang 5 kilometer dari pusat kota Batusangkar. Istana ini merupakan objek wisata budaya yang terkenal di Sumatra Barat.

Istano Basa yang berdiri sekarang sebenarnya adalah replika dari yang asli. Istano Basa yang asli terletak di atas bukit Batu Patah dan dibakar habis pada tahun 1804 oleh kaum paderi yang kala itu memerangi para bangsawan dan kaum adat. Istana tersebut kemudian didirikan kembali namun kembali terbakar tahun 1966.

Proses pembangunan kembali Istano Basa dilakukan dengan peletakan tunggak tuo (tiang utama) pada 27 Desember 1976 oleh Gubernur Sumatra Barat waktu itu, Harun Zain. Bangunan baru ini tidak didirikan di tapak istana lama, tetapi di lokasi baru di sebelah selatannya. Pada akhir 1970-an, istana ini telah bisa dikunjungi oleh umum.

 

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)