Kerajaan Indragiri

0

 

Istana Indragiri

Ada Empat Kerajaan di Indragiri Hilir dan yang terbesar dan terlama adalah Kerajaan Indragiri yang kemudian menjadi Kesultanan Indragiri.

1. KERAJAAN KERITANG

Kerajaan ini didirikan sekitar awal abad ke-6 yang berlokasi di wilayah Kecamatan Keritang sekarang. Seni budayanya banyak dipengaruhi oleh agama Hindu, sebagaimana terlihat pada arsitektur bangunan istana yang terkenal dengan sebutan Puri Tujuh (Pintu Tujuh) atau Kedaton Gunung Tujuh. Peninggalan kerajaan ini yang masih dapat dilihat hanya berupa puing-puing.

2. KERAJAAN KEMUNING

Kerajaan Kemuning didirikan oleh Raja Singapura ke-5, Raja Sampu atau Raja Iskandarsyah Zulkarnain atau Prameswara. Tahun 1231 diangkat seorang raja muda yang bergelar Datuk Setiadiraja. Letak kerajaan ini diperkirakan berada di Desa Kemuning Tua dan Desa Kemuning Muda. Bukti peninggalan kerajaan berupa selembar besluit dengan cap stempel kerajaan, bendera dan pedang kerajaan.

3. KERAJAAN BATIN ENAM SUKU

Pada tahun 1260, di daerah Indragiri Hilir bagian utara, yaitu di daerah Gaung Anak Serka, Batang Tuaka, Mandah dan Guntung dikuasai oleh raja-raja kecil bekas penguasa kerajaan Bintan, yang karena perpecahan sebagian menyebar ke daerah tersebut. Di antaranya terdapat Enam Batin (Kepala Suku) yang terkenal dengan sebutan Batin Nan Enam Suku, yakni:

Suku Raja Asal di daerah Gaung.

Suku Raja Rubiah di daerah Gaung.

Suku Nek Gewang di daerah Anak Serka.

Suku Raja Mafait di daerah Guntung.

Suku Datuk Kelambai di daerah Mandah.

Suku Datuk Miskin di daerah Batang Tuaka.

4. KERAJAAN INDRAGIRI

Kerajaan Indragiri diperkirakan berdiri tahun 1298 dengan raja pertama bergelar Raja Merlang I berkedudukan di Malaka. Demikian pula dengan penggantinya Raja Narasinga I dan Raja Merlang II, tetap berkedudukan di Malaka, sedangkan untuk urusan sehari-hari dilaksanakan oleh Datuk Patih atau Perdana Menteri. pada tahun 1473, sewaktu Raja Narasinga II yang bergelar Paduka Maulana Sri Sultan Alauddin Iskandarsyah Johan Zirullah Fil Alam, Sultan Indragiri ke-4 , dia menetap di ibu kota kerajaan yang berlokasi di Pekan Tua sekarang.

Pada tahun 1815, dibawah Sultan Ibrahim, ibu kota kerajaan dipindahkan ke Rengat. dalam masa pemerintahan Sultan Ibrahim ini, Belanda mulai campur tangan terhadap kerajaan dengan mengangkat Sultan Muda yang berkedudukan di Peranap dengan batas wilayah ke Hilir sampai dengan batas Japura.

Pada masa pemerintahan Sultan Isa, orang - orang dari suku Banjar dan suku Bugis banyak datang ke Indragiri karena daerah asal mereka kurang aman.

Khusus untuk suku Banjar, perpindahannya akibat dihapuskannya Kerajaan Banjar pada tahun 1859 sehingga terjadi peperangan sampai tahun 1863.

Nama Indragiri konon katanya berasal dari nama sebuah anak sungai yang terdapat di kawasan itu yang dulunya bernama pangandalandiri. Selain itu nama Indragiri di tulis sesuai dengan tata ejaan mengikuti zaman. Umpamanya dalam peta yang dibuat oleh Laksamana Perancis Agustin de Beaulieu pada abad ke 17 sebagai hasil lawatannya ke Aceh maka nama ini tertulis sebagai Andrigiri. Demikian pula dengan penulisan nama Indragiri dalam bahasa lain dengan tata-ejaan yang berubah-ubah senantiasa mengikuti perkembangan kebudayaan.

Dalam sejarah melayu nama Indragiri dapat dijumpai berkali-kali, di dalam salah satu versi Hikayat Hang Tuah terdapat keterangan tentang Indragiri.

Ada juga yang mengatakan Indragiri berasal dari bahasa sansekerta yaitu "Indra" yang berarti mahligai dan "Giri" yang berarti kedudukan yang tinggi atau negeri, sehingga kata indragiri diartikan sebagai Kerajaan Negeri Mahligai Kerajaan Indragiri diperintah langsung dari Kerajaan Malaka pada masa Raja Iskandar yang bergelar Narasinga I. Pada generasi Raja yang ke 4, barulah istana Kesultanan Indragiri didirikan oleh Paduka Maulana Sri Sultan Alauddin Iskandarsyah Johan NaraSinga II bergelar Zirullah Fil Alam beristerikan Putri Dang Purnama, bersamaan didirikannya Rumah Tinggi di Kampung Dagang.

Sebagaimana yang berlaku pada kerajaan-kerajaan melayu lainnya, pusat pemerintahan Kerajaan Indragiri senantiasa berpindah sesuai dengan keadaan dan masa.

Pusat pemerintahan yang berpindah-pindah itu dapat dilihat dari pentingnya Pekantua di masa lampau, lalu Raja Pura, Japura atau Jepura. Baru pada tanggal 5 Januari 1815 Sultan Ibrahim yang menjadi sultan kerajaan Indragiri ke-18 (menurut catatan ahli waris tahun 1970-an) pusat kerajaan itu bertempat di Rengat. Tentang pusat pemerintahan kerajaan inderagiri yang bernama Jepura ini diterangkan oleh raja Ali haji dalam kamus ensiklopedis monolingualnya kitab pengetahuan bahasa sebagai berikut : "Jepura yaitu nama tempat di dalam negeri inderagiri, asalnya disebut tempat kerajaannya, karena disebut tempat baik, jika air besar tiada tenggelam amat seperti yang disebelah kualanya itu konon adanya".

Sejarah Indragiri

Kerajaan Indragiri adalah pewaris Kerajaan Keritang. Sejarah Keritang tidak dapat diketahui jelas. Nama Keritang berasal dari kata Akar Itang. Itang ialah sebangsa tumbuh-tumbuhan yang banyak terdapat di sepanjang Sungai Gangsal. Akar-akar dari tumbuh-tumbuhan tersebut di atas begitu banyak di tebing-tebing sungai sehingga menyulitkan bagi perjalananan. Dari kata-kata akar dan itang terbentuklah Karitang, yang lama-lama kelamaan kebiasaan orang Melayu suka mempermudah sesuatu ucapan kata tersebut menjadi Karitang dan akhirnya menjadi Keritang.

Dalam Negarakertagama, Keritang disebut sebagai daerah yang takluk kepada Majapahit bersama Kerajaan Kandis, selain beberapa kerajaan lain di Sumatera yang juga tunduk di bawah Majapahit. Menyebutkan Keritang bersama-sama dengan kerajaan lain yang mengandung pengertian bahwa Keritang bukan hanya sekedar kampung, tetapi sudah merupakan suatu kerajaan cukup besar dan berarti bagi Majapahit yang demikian besar kekuasaannya.

Mengenai masa hidup Kerajaan Keritang ini dapat diperkirakan semasa dengan Kerajaan Kuantan. Tempat Kerajaan Keritang ini berpusat di sekitar Desa Keritang sekarang ini, yaitu di tepi Sungai Gangsal di Kecamatan Keritang, Kabupaten Indragiri Hilir. Kapan lenyapnya kerajaan ini tidaklah dapat dipastikan, tetapi beberapa petunjuk yang mengarah ke Kerajaan Keritang disebabkan kehilangan Raja pemangku tahta. Raja di tawan oleh Kerajaan Melaka. Raja Merlang yang akhirnya meninggal di dalam pengasingan. Ketika dalam penawanan, Raja Merlang dikawinkan dengan seorang puteri Sulatn Mansyur Syah mempunyai keturunan. Dari rahim isterinya lahir seorang putera mahkota Kerajaan Keritang. Narasinga, nama putera mahkota itu, kelak akan dijemput untuk diminta memerintah kembali Kerajaan Keritang, karena sudah lama kerajaan seperti tidak bertuan.

Ketika rakyat Indragiri tidak mempunyai raja, maka Datuk Patih meminta kepada Narasinga, sang putera mahkota yang masih menetap di Malaka untuk pulang ke Keritang memerintah kerajaan yang tidak memiliki raja.

Hampir semua wilayah yang ada di Kepulauan Sumatera pada saat itu berada dalam wilayah kekuasaan Sriwijaya. Dalam catatan perjalanan I-Tsing, sepeninggalannya dari Sriwijaya dan Jambi , tempat ia pernah menetap selama dua bulan, Indragiri telah menjadi wilayah dari kekuasaan Sriwijaya.

Menurut Hall (1988), Petunjuk-petunjuk dari catatan-catatan orang Cina dan Batu Ligor yang ditemukan di Wat Sema-muang, diceritakan pada saat peringatan pendirian tempat suci Budha Mahayana oleh Raja Sriwijaya pada tahun yang sama dengan dengan 15 April 775. Disebutkan, perluasan Kerajaan Sriwijaya dan Budha Mahayana sampai ke Semenanjung Melayu.

Menurut Marwati (1992) dari keterangan prasasti yang ditemukan di Telaga Batu, Sriwijaya memperluas wilayah kekuasaannya mulai daerah Malayu di sekitar Jambi sekarang sampai ke Pulau Bangka dan Lampung Selatan serta berusaha menaklukkan Pulau Jawa yang menjadi saingannya dalam bidang bidang pelayaran dan perdagangan dengan luar Nusantara.

Penaklukan Pulau Bangka diduga erat ada hubungannya dengan penguasaan perdagangan dan pelayaran internasional di selat Malaka.Karena letaknya yang strategis, Pulau Bangka pada masa Sriwijaya menurut Obdeyn (Marwati: 1992), masih bersambung menjadi satu dengan Semenanjung Tanah Melayu termasuk didalamnya Kepuluan Riau dan Lingga.

Sehingga dengan demikian, sangat kuat dugaan bahwa Kerajaan Keritang juga berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Sebab daerah yang menjadi perbatasan Kerajaan Keritang, daerah Jambi dan Semenanjung Melayu juga berada dalam wilayah kekuasaan Sriwijaya.

Pada saat Kerajaan Sriwijaya sebagai Kerajaan Maritim terbesar menguasai daerah-daerah sekitarnya, seperti, Bangka, Riau, Lingga, Jambi, Semenanjung Tanah Melayu dan Keritang. Sriwijaya sepenuhnya menguasai lalu lintas perdagangan dan pelayaran dari kerajaan-kerajaan dari Barat ke Cina atau sebaliknya. Karena perahu-perahu asing semuanya terpaksa harus berlayar melalui Selat Melaka dan Selat Bangka yang dikuasai Sriwijaya.

Keuntungan dari penguasaan tersebut, maka Sriwijaya keuntungan pajak lalu lintas yang melimpah-limpah dari perahu yang lewat. Sementara dari daerah Sriwijaya sendiri, ekspor berbagai macam komoditi dalam negeri, penyu, gading gajah, kapur barus, damar, lada dan lainnya sangat banyak. Karena wilayahnya yang luas dan banyak memproduksi komoditi yang diinginkan para pedagang. Komoditi tersebut ditukarkan dengan berbagai macam alat-alat sejenis porselen, kain katun dan kain sutera.

Kerajaan Keritang di akhir abad ke-13, mulai lepas dari pengaruh Kerajaan Sriwijaya.

Pada pada abad tersebut, kekuasaan kerajaan Sriwijaya semakin memudar. Ini menjadi faktor keberuntungan bagi kerajaan-kerajaan kecil yang selama ini tunduk di bawah kekuasaan Sriwijaya. Kerajaan-kerajaan kecil, satu persatu mulai melepaskan diri dari pemerintahan Sriwijaya. Karena tidak mungkin lagi bagi Sriwijaya untuk bisa kembali menguasai dan memaksakan keinginannya, karena persoalan dalam negeri tidak dapat teratasi lagi dan semakin banyaknya serangan dari luar yang juga harus dihadapi.

Sehingga secara perlahan, nama Sriwijaya semakin hilang dari peredaran. bandar dagang yang semula ramai dikunjungi, berangsur-

angsur menjadi sepi dan ditinggalkan pedagang. Sebab sumber-sumber komoditi yang diperjual belikan semakin menipis dan kuantitasnya tidak memenuhi permintaan pedagang lagi.

Berakhirnya Kerajaan Sriwijaya ini tidak hanya disebabkan hanya disebabkan kondisi dalam negeri yang tak menentu, tetapi juga serang dari luar. Adanya serangan dari Kerajaan Cola dan Majapahit. Sementara semakin derasnya gelombang penyebaran Islam ke Nusantara disinyalir sebagai penyebab eksternal runtuhnya Kerajaan Maritim Sriwijaya.

Marcopolo dalam perjalanannya dari Cina pada tahun 1292 M tidak menyebut-nyebut nama Sriwijaya lagi. Hal itu menunjukkan Sriwijaya sudah terpecah menjadi beberapa Kerajaan kecil. Dan salah satu diantaranya adalah Kerajaan Keritang ini merupakan Kerajaan Hindu-Budha. Karena setelah melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Majapahit yang menganut agama Budha, selanjutnya Kerajaan Keritang menjadi sebuah kerajaaan yang berdiri sendiri. Kedaulatan itu tidak berlangsung lama, karena kerajaan itu ditaklukkan oula oleh Kerajaan Majapahit yang menganut agama Hindu.

Tidak dapat dipastikan awal berdirinya Kerajaan Keritang (Indragiri), karena sumber yang ada sangat terbatas. Suatu sumber yang menyebutkan bahwa raja pertama Kerajaan Indragiri adalah Raja Kecik Mambang yang memerintah ± 1298-1337 (T. Arief, tt:39). Sumber itu tidak menyebutkan di mana letaknya pusat pemerintahan dari Kerajaan Indragiri. Sebaliknya Mpu Prapanca dalam Negarakertagama tidak pula menyebut nama Indragiri, tetapi yang ditulis hanyalah Keritang. Karena Keritang itu terdapat di Indragiri, maka diperkirakan nama kerajaan Indragiri yang disebut di atas adalah identik dengan Kerajaan Keritang.

Dalam perjalanan sejarah Kerajaan Keritang dari tahun 1298-1331 masih tetap merdeka dan berdaulat. Berita dalam Negarakertagama menyebutkan Majapahit sampai tahun 1331 M wilayah kekuasan baru daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Daerah-daerah di luar dari keduanya belum lagi masuk dalam wilayah kekuasaan Majapahit (Muhammad Yamin, 1960). Selama berdaulat itu, tidak ditemukan sumber tertulis yang dapat mengungkapkan kembali sejarah kerajaan itu. Begitu juga di daerah Keritang sendiri tidak didapat cerita rakyat tentang Kerajaan Keritang.

Majapahit menguasai daerah luar Jawa diperkirakan sesudah tahun 1331. Tetapi tidak dapat dipastikan tahun yang tepat mulai masuknya daerah-daerah di luar Jawa Timur dan Jawa Tengah. Mpu Prapanca dalam Negara Kertagama menuliskan beberapa kerajaan yang termasuk dalam kekuasaan Majapahit. diterjemahkan Muhammad Yamin sehingga mempunyai pengertian sebagai berikut:

Seluruh pulau Sumatera (melayu) telah menjadi daerah yang berada di bawah kekuasaan Majapahit yang meliputi Lampung, Palembang, Jambi, Keritang (Indragiri) Muara Tebo, Darmasraya (Sijunjung), Kandis, Kahwas, Haru, Mandahiling, Tamiang, Perlak (Aceh) Barat, Lamuri (Aceh Tiga Segi), Bantan dan Barus (Muhammad Yamin. 1960).

Kedudukan Keritang dalam syair 13 itu setara dengan Kerajaan Jambi, Kerajaan Darmasraya, Kerajaan Minangkabau dan Kerajaan lainnya, yang merupakan bukti bahwa Keritang adalah juga suatu Kerajaan. Kerajaan Keritang ini terletak di dalam daerah Indragiri. Nama Indragiri dalam uraian Muhammad Yamin di atas terletak sesudah menyebut nama Keritang yang dalam tanda kurung. Selanjutnya dalam Atlas Sejarah, nama Keritang terletak di wilayah Inderagiri atau antara Kampar di utara dan Jambi di Selatan (Muhammad Yamin, 1965)

Sebagai suatu kerajaan, Keritang memiliki beberapa orang raja yang memerintah selama lebih kurang 213 tahun (1298-1508). Raja-raja tersebut yaitu Raja Kecik Mambang dsebut juga dengan gelar Raja Merlang I (± 1298-1337), Raja Iskandar atau Nara Singa (± 1337-1400), Raja Merlang II (± 1400-1437) dan Raja Nara Singa. Pada masa pemerintahan Raja Merlang II, Kerajaan Keritang (Inderagiri) menjadi daerah jajahan Melaka, sebagai hadiah perkawinan putri Majapahit dengan Sultan Mansyursah dan Melaka.

Dalam tahun 1275 raja Kertanegara dari Singosari mengirim suatu ekspedisi Pamalayu. Ekspedisi ini dimaksudkan untuk merebut daerah penghasil lada terbesar di kawasan ini. Singosari waktu itu sedang dalam konflik dengan kerajaan Mongol. Hubungan yang memburuk ini diikuti dengan kedatangan armada Mongol di bawah pimpinan Ike Mise dan Shih Pi untuk menyerang Kerajaan Singasari dan menghukum raja Jawa, Kertanegara yang telah menghina utusan Mongol bernama Mengchi. Mengchi dipotong telinga ketika menyampaikan pesan dari kerajaan Mongol ( Kubhilai Khan ).

Perseteruan antara Kerajaan Singasari dan Mongol dimanfaatkan oleh Kerajaan Malaka untuk menguasai Keritang. Sebab melihat potensi hasil bumi yang dimiliki Kerajaan Keritang akan membantu Malaka dalam meningkatkan intensitas perdagangannya. Jambi dan sekitarnya pada waktu itu penghasil lada terbesar di pantai Timur Sumatera, Keritang merupakan lumbung padi. Sedangkan Malaka baru muncul sebagai bandar perdagangan besar di Asia. Bandar yang dibangun itu menampung dan mengekspor kembali barang-barang dari Asia Tenggara dan Asia Timur ke Eropa melalui India dan Teluk Persia. Maka bila terjadi ikatan antara Melaka dengan Jambi dan Keritang yang juga menghasilkan lada, akan menjamin suplai bahan perdagangan.

Untuk dapat menguasai Keritang, maka Malaka harus membuat hubungan diplomatik yang baik dengan kerajaan Majapahit, kerajaan yang berkembang pesat setelah kekuasaan Singosari. Maksud tercapai setelah Raja Malaka yaitu Sultan Mansursyah kawin dengan seorang puteri Raja Majapahit. Sejak itulah Kerajaan Keritang oleh Majapahit diserahkan penguasaannya kepada kerajaan Malaka.

Majapahit mau menyerahkan Kerajaan Keritang kepada Kerajaan Malaka di samping karena hubungan perkawinan tersebut, juga karena pada saat itu kebesaran Majapahit dalam keadaan menurun semenjak meninggalnya Patih Gajah Mada.

Untuk memperkuat ikatan kerajaan Malaka terhadap kerajaan Keritang, maka Sultan Mansyur Syah mengawinkan salah seorang puterinya dengan Raja Keritang yang bernama Raja Merlang II. Setelah perkawinan itu, raja Merlang pun menetap di Melaka.

Kapan lenyapnya kerajaan ini tidak bisa dipastikan, namun ada petunjuk yang mengatakan bahwa kerajaan ini lenyap karena mereka kehilangan rajanya.

Raja mereka hilang bukan karena mati ataupun ditawan oleh Majapahit melainkan ditawan di istana kerajaan Malaka. Raja tersebut adalah Raja Merlang, yang akhirnya juga meninggal di Melaka. Beliau mempunyai seorang putra dari hasil perkawinannya dengan putri sultan mansyur syah yaitu Nara Singa.

Asal Muasal Kerajaan Keritang berawal dari keruntuhan Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang. Pada akhir adab ke-13, Kerajaan Sriwijaya mulai rapuh karena adanya serangan dari luar, antara lain Kerajaan Cola (India) yang menyerbu dari utara dan kemudian ekspedisi Majapahit dari sebelah timur. Namun, dalam catatan perjalanan Marcopolo yang ditulis pada 1292, nama Kerajaan Sriwijaya tidak disebut-sebut lagi. Hal ini sepertinya menunjukkan bahwa pada masa itu Sriwijaya sudah terpecah-pecah. Salah satunya menjadi pecahan Sriwijaya adalah Kerajaan Keritang yang kemudian menjadi Kesultanan Indragiri.

Berdasarkan catatan kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca, nama Indragiri disebut dengan nama Keritang. Oleh karena Keritang terletak di wilayah yang kemudian dikenal dengan nama Indragiri, maka diperkirakan bahwa Kerajaan Keritang inilah yang kelak berkembang menjadi Kesultanan Indragiri. Mengeni nama Indragiri sendiri, ada ahli-ahli sejarah dari Eropa yang menyebutnya. Kamus ‘A Malay-English Dictionary yang disusun Richard James Wilkinson (1867-1941), mencantumkan nama Indragiri. Dalam kamus yang diterbitkan pada 1932 ini, Indragiri diartikan sebagai “Indra’s Mountain” an East Coast Sumatra Sultanate on a river of the same name” atau “Gunung Tempat Dewa Indra: Suatu Kesultanan di Pesisir Timur Sumatra dekat sungai yang bernama sama (nama kerajaan dan sungai adalah sama, yaitu Indragiri)”.

Dalam ‘Niew Malaeisch-Nederlandsch Woordenboek – Met Arabisch Karakter’, kamus susunan Hillebrads Cornelius Klinkert (1829-1913) terbitan tahun 1892, nama Indragiri diartikan sebagai nama sebuah kerajaan di Pantai Timur Pulau Sumatra dan nama sungai yang mengaliri kerajaan itu (Hasan Junus & Zuarman, et al., 2003:13). Ada pula yang mengatakan bahwa Indragiri berasal dari Bahasa Sanskerta yaitu ‘Indra’ yang berarti mahligai dan ‘Giri’ yang berarti kedudukan yang tinggi atu negeri, sehingga makna Indragiri adalah Kerajaan Negeri Mahligai.

Raja pertama Keritang adalah Raja Kecik Mambang atau Raja Merlang (1298-1337), yang berturut-turut dilanjutkan oleh Raja Nara Singa I (1337-1400) sebagai Raja Keritang ke-2, kemudian Raja Merlang II (1400-1473).

Pada era berikutnya, pengaruh Islam sudah mulai masuk ke wilayah kerajaan ini.

Raja yang selanjutnya, yakni Raja Nara Singa II (1473-1508) diketahui telah memeluk agama Islam. Raja Nara Singa II, Raja Keritang yang ke-4 sebagai Sultan pertama Indragiri dengan nama Maulana Paduka Sri Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan (1508-1532).

Kerajaan Keritang sempat menjadi wilayah taklukan Kerajaan Majapahit dan akhirnya diberikan kepada kesultanan Melaka sebagai hadiah pernikahan Sultan Mansyur Syah dengan salah seorang putri Kerajaan Majapahit. Seiring Islam masuk ke Nusantara, pemerintahan Kerajaan Keritang dikendalikan oleh Kesultanan Melaka. Ketika masih di bawah kuasa Majapahit, Raja Merlang diperkenankan untuk tetap berada di tengah-tengah rakyatnya. Akan tetapi setelah Kerajaan Keritang dikuasai oleh Kesultanan Melaka, Raja Merlang tidak diperbolehkan lagi menetap di Keritang melainkan dibawa ke Melaka. Kebijakan ini sangat menguntungkan bagi Melaka karena dengan demikian Kerajaan Keritang lebih mudah diawasi.

Dominasi Melaka terhadap Keritang semakin kuat ketika Raja Merlang dikawinkan dengan Putri Bakal, anak perempuan Sultan Mansyur Syah, pemimpn Kesultanan Melaka. Ikatan perkawinan itu, di samping mengokohkan kedudukan Sultan Melaka di daerah jajahan, dilakukan juga dengan harapan agar Raja Merlang betah tinggal di Melaka. Dari perkawinan dengan Putri Melaka itu, Raja Merlang memperoleh putra yang diberi nama Nara Singa (1337-1400) dan dibesarkan di lingkungan Kesultanan Melaka. Ketika Kesultanan Melaka dipimpin oleh Sultan Mahmud Syah I (1448-1511), Raja Nara Singa diambil menantu oleh Sultan. Ketika Raja Nara Singa dinobatkan sebagai Raja Keritang, dia tetap tidak diperbolehkan tinggal di Keritang. Demikian pula yang terjadi kepada raja-raja penerus tahta Kerajaan Keritang yang selanjutnya, yakni Raja Merlang II hingga kemudian Raja Nara Singa II (1473-1508).

Selama keluarga Kerajaan Keritang berada di Melaka, pemerintahan dijalankan oleh Datuk Patih dan Datuk Temenggung Kuning, serta beberapa pejabat Kerajaan Keritang lainnya. Meski pemerintahan Kerajaan Keritang dapat tetap berjalan, namun seringkali terjadi perselisihan antara Datuk Patih dan Datuk Temenggung Kuning. Masalah terpelik yang terjadi di antara kedua mentri itu adalah soal agama yang masih menganut kepercayaan lama. Persoalannya adalah apabila ada orang yang berada di bawah kuasa Datuk Patih memeluk Islam, maka orang itu dipersilahkan untuk pindah ke daerah yang dipimpin Datuk Temenggung Kuning. Akibatnya, semakin lama orang-orang yang berada di bawah kekuasaan Datuk Patih kian berkurang karena semakin banyak pula orang yang memeluk Islam.

Konflik internal di dalam Kerajaan Keritang, ditambah dengan perlakuan yang tidak adil dari orang-orang Melaka terhadap rakyat Keritang, membuat Raja Nara Singa II resah dan berkeinginan untuk kembali ke kerajaannya. Dengan alasan mencari hiburan bersama istri tercintanya, Raja Nara Singa II akhirnya diperbolehkan kembali ke Keritang.

Raja Nara Singa II tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan segera menyusun rencana dengan para pengikutnya. Ketika sudah berhasil meninggalkan Melaka, terdengarlah kabar bahwa Raja Nara Singa II dapat melepaskan diri dari Melaka

(Yusuf & Amin et, al., 1994:19).

Selanjutnya, Raja Nara Singa II bersama para pengikutnya memindahkan pusat kerajaan dari Keritang ke Pekantua, tidak jauh dari Sungai Indragiri. Perpindahan tersebut terkait dengan kepercayaan bahwa suatu tempat yang telah ditinggalkan tidak baik untuk dijadikan pusat pemerintahan.

Keritang merupakan kota yang diambil-alih Kesultanan Melaka sebagai daerah jajahan, maka menurut keyakinan magic religious, kota atau kraton yang telah dikalahkan itu harus ditinggalkan (Sartono Kartodirjo, et, al., 1975:153).

Raja Nara Singa II akhirnya dinobatkan menjadi pemimpin di Pekantua dan inilah tanda bahwa Kesultanan Indragiri telah berdiri. Sebagai sultan pertama Kesultanan Indragiri, gelar untuk Raja Nara Singa II adalah Maulana Paduka Sri Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan. Gelar ini menandakan bahwa unsur Islam sudah masuk dan menebar pengaruh di Indragiri dan sekitarnya.

Pada era pemerintahan Sultan Indragiri yang pertama ini, ibu kota kerajaan dipindahkan lagi, yakni ke Mudoyan, yang dikenal juga dengan nama Kota Lama, yang terletak di sebelah hulu Pekantua. Jarak antara Pekantua dengan Kota Lama kurang lebih 50 kilometer lewat jalan darat. Perpindahan pusat pemerintahan Kesultanan Indragiri tersebut disebabkan karena kurang amannya Pekantua dari kemungkinan serangan Portugis dan ancaman gerombolan perompak. Belum diketahui kapan pastinya waktu pemindahan itu namun yang jelas, waktu pemindahan itu paling lambat dilakukan pada 1532 karena di tahun itu Maulana Paduka Sri Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan atau Raja Nara Singa II meninggal dunia dan dimakamkan di Kota Lama

(Yusuf & Amin, et, al., 1994:75).

Pada 1765, pusat pemerintahan Kesultanan Indragiri berpindah lagi, kali ini ke Raja Pura atau Japura.

Sejak 5 Januari 1815, yakni pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim (1784-1845), Sultan Indragiri ke-15, ibu kota Indragiri pindah ke Rengat. Beberapa peneliti menduga, selain adanya tekanan dari kolonialis Belanda, pemindahan ibu kota Kesultanan Indragiri dari Japura ke Rengat juga dikarenakan tersedianya biaya untuk pembangunan istana baru yang lebih megah (Lufti [ed.], 1977:261).

Sultan pertama Kesultanan Indragiri, Alauddin Iskandar Syah Johan, bertahta sampai akhir hayatnya yakni tahun 1532. Setelah itu pucuk pimpinan Kesultanan Indragiri berturut dilanjutkan oleh penerus Alauddin Iskandar Syah Johan, yaitu Sultan Indragiri ke-2 Sultan Usuluddin Hasansyah (1532-1557.

Kemudian Sultan Ahmad dengan gelar Sultan Mohammadsyah (1557-1599) sebagai Sultan Kesultanan Indragiri yang ke-3,

Pada era Sultan Jamaluddin Kramatsyah (1599-1658), Sultan yang ke-4 dari Kesultanan Indragiri inilah kaum imperialis Eropa datang dan lantas menanamkan pengaruhnya di Indragiri.

Tahun 1602, kapal milik bangsa Belanda yang dipimpin oleh nahkoda Heemskerck berlabuh di Johor dengan tujuan awal untuk berdagang. Pada saat itu, Kesultanan Johor-Riau yang dipimpin Sultan Alauddin Riayat Syah II sedang menghadapi sejumlah peperangan, antara lain dengan portugis adan Aceh serta Patani. Kesultanan Johor-Riau kemudian mengajak Belanda bekerjasama untuk melawan musuh-musuhnya itu.

Sebagai strategi untuk meluaskan pengaruh dan jaringan niaganya di Selat Melaka, kompeni mendirikan loji di Indragiri pada 1615. Sultan Jamaluddin Kramatsyah (1599-1658) sebagai penguasa Kesultanan Indragiri saat itu mengizinkan aktivitas dagang Belanda di wilayahnya dengan Harapan akan dapat meningkatkan perdagangan di Indragiri. Namun harapan Sultan Jamaluddin Kramatsyah dan Belanda tidak berjalan mulus karena adanya persaingan dari pedagang-pedagang Cina, Portugis dan Inggris. Sementara Belanda sendiri kurang mampu berkonsentrasi menangani perdagangannya di Indragiri karena sedang memusatkan perhatiannya untuk Batavia. Akibatnya, pada tahun 1622 kantor dagang atau loji Belanda di Indragiri terpaksa ditutup.

Karena kerja sama dengan Belanda tidak berjalan lagi, Indragiri mengalihkan jalinan niaganya ke minangkabau. Namun hubungan itu menimbulkan polemik dengan Kesultanan Aceh Darussalam. Pasalnya, hasil lada dan emas dari Minangkabau yang sebelumnya dibawa ke Padang, Tiku Pariaman, dan Bandar Sepuluh, yang berada di bawah pengaruh Aceh menjadi berkurang. Karena merasa tersaingi dalam perdagangan, Kesultanan Aceh Darussalam menyerang Indragiri dan Johor pada tahun 1623 (Jamalako Sultan, tt:17). Selain itu, Aceh juga menyerbu wilayah lainnya yang dianggap merugikan perdagangannya. Penyerangan Aceh ke Indragiri, Aru, Pahang, Kedah, Perak, dan Johor dilakukan dalam waktu yang berdekatan

(Sanusi Pane, 1965:185).

Tujuan utama penyerbuan Kesultanan Aceh Darussalam ke Indragiri adalah untuk memutuskan hubungan perdagangan lada antara Kesultanan Indragiri dengan Minangkabau. Ketika akhirnya Kesultanan Aceh dapat mewujudkan tujuannya itu, yaitu kira-kira awal tahun 1624, kiriman lada dari Minangkabau ke Indragiri tiap bulan menurun drastis. Bagi daerah-daerah yang tunduk di bawah Sultan Iskandar Muda (1607-1636), penguasa Kesultanan Aceh Darussalam, menuntut 15% dari produksi emas dan lada sebagai upeti, sedangkan sisanya harus dijual sesuai harga yang ditetapkan Aceh (Djuharsono, 1985:152).

Karena perdagangan yang semakin terdesak akibat pendudukan Kesultanan Aceh Darussalam, Kesultanan Indragiri kemudian mencoba menjalin hubungan kembali dengan Belanda. Sultan Jamaluddin Kramatsyah mengirim surat kepada Antonio van Diemen, Gubenur Jendral Belanda di Batavia, pada tahun 1641.

Dalam suratnya, Sultan Jamaluddin Kramatsyah meminta kepada Belanda supaya membuka kembali kantor dagang di Indragiri. Setelah beberapa kali berusaha, keinginan Sultan Jmaluddin Kramatsyah terpenuhi dengan kedatangan Joan van Wesenhage, utusan Belanda dari Batavia ke Indragiri.

Selanjutnya pada masa pemerintahan Sultan Jamaluddin Sulemansyah (1658-1699) sebagai Sultan Indragiri ke-5, disepakati perjanjian dengan Belanda tentang hubungan perdagangan antara kedua belah pihak. Perjanjian yang ditandatangani oleh Sultan Jamaluddin Sulemansyah dan Joan van Wesenhage tersebut dikenal dengan nama ‘Renovatie van het Contract van 27 October 1664’ (Muchtar Lufti [ed.], 1997:217), sesuai dengan tanggal penandatanganan hasil perundingan. Isi dari perjanjian itu antara lain:

1. Belanda diberi hak memonopoli dalam perdagangan lada;

2. Bea murah bagi masuk dan keluarnya barang-barang milik Belanda dalam kekuasaan Kesultanan Indragiri.

Berdasarkan perjanjian tersebut, Belanda diperbolehkan membangun kembali kantor dagangnya di Indragiri di Kuala Cenaku. Namun, pada tahun 1679, kantor dagang Belanda di Kuala Cenaku diserang oleh 100 orang Banten di bawah pimpinan Pangeran Arja Suria dan Ratu Bagus Abdul Kadir. Sejak itu, kantor dagang Belanda di Indragiri tersebut kembali ditutup.

Hubungan antara Belanda dengan Kesultanan Indragiri pada era pemerintahan kolonial Hindia Belanda mengalami pasang surut, kendati kerugian lebih sering diderita oleh pihak Kesultanan Indragiri. Misalnya ketika Kesultanan Indragiri di bawah pimpinan Sultan Ibrahim (1784-1815), Belanda mulai campur tangan dalam urusan internal kerajaan dengan mengangkat Sultan Muda yang berkedudukan di Peranap dengan batas wilayah dari Hilir hingga Japura.

Pada masa kepemimpinan Sultan Indragiri yang terakhir Mahmud Syah (1912-1963), posisi Kesultanan Indragiri sebagai kerajaan yang berdaulat semakin terjepit. Sultan tidak mampu berbuat banyak menghadapi tekanan Belanda. Di samping itu, Belanda juga melarang rakyat Indragiri mengadakan rapat atau berkumpul lebih dari tiga orang, kecuali acara dakwah agama, itu pun dengan pengawasan ketat. Apabila isi ceramah dalam dakwah tersebut dianggap terlalu berani, maka orang-orang yang terkait dengan acara dakwah itu akan ditangkap dan diproses menurut hokum yang diberlakukan oleh pemerintahan colonial (Yusuf & Amiin, et, al., 1994:126).

Ketika Jakarta menyerukan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, kabar itu segera sampai ke Indragiri, namun Sultan Mahmud Syah belum berani mengambil sikap karena tentara Jepang masih banyak yang berkeliaran. Sultan berhati-hati dalam mengambil keputusan dan menunggu reaksi rakyat Kesultanan Indragiri. Tetapi, para pemuda di Indragiri telah bersikap dan berani menyampaikan berita proklamasi kepada rakyat banyak.

Sultan sendiri sudah mendengar bahwa para pemuda telah mengadakan pertemuan secara rahasia untuk membicarakan hal tersebut

(Wasmad Rads, 1950:7).

Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)