Masyarakat Suku Minang merupakan
bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari
daratan China Selatan ke pulau Sumatra sekitar 2.500–2.000 tahun yang lalu.
Diperkirakan kelompok masyarakat ini
ma-suk dari arah timur pulau Sumatra, menyu-suri aliran sungai Kampar sampai ke
dataran tinggi yang disebut darek dan menjadi kam-pung halaman orang
Minangkabau.
Beberapa kawasan darek ini kemudian
mem-bentuk semacam konfederasi yang dikenal dengan nama luhak, yang selanjutnya
disebut juga dengan nama Luhak Nan Tigo, yang terdiri dari Luhak Limo Puluah,
Luhak Agam, dan Luhak Tanah Data.
Sementara seiring dengan pertumbuhan
dan perkembangan penduduk, masyarakat Minangkabau menyebar ke kawasan darek
yang lain serta membentuk beberapa kawasan rantau.
Rantau adalah kawasan yang menjadi
pintu masuk ke alam Minangkabau. Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari
kehidup-an, kawasan perdagangan.
Rantau di Minangkabau dikenal dengan
Ran-tau Nan Duoterbagi atas Rantau di Hilia (ka-wasan pesisir timur) dan Rantau
di Mudiak (kawasan pesisir barat).
Masyarakat Minang saat ini merupakan
pe-meluk agama Islam, dengan pepatah, Adat manurun, Syarak mandaki (Adat
diturunkan dari pedalaman ke pesisir, sementara agama (Islam) datang dari
pesisir ke pedalaman).
Menurut tambo, sistem adat
Minangkabau pertama kali dicetuskan oleh dua orang ber-saudara, Datuk
Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang. Datuk Ketumang-gungan
mewariskan sistem adat Koto Piliang yang aristokratis, sedangkan Datuk Perpatih
mewariskan sistem adat Bodi Caniago yang egaliter, keselarasan keduanya
membentuk sistem masyarakat Minangkabau.
Ada tiga pilar yang membangun dan
menjaga keutuhan budaya serta adat istiadat. Mereka adalah alim ulama, cerdik
pandai, dan ninik mamak, yang dikenal dengan istilah Tungku Tigo Sajarangan.
Pemisahan Minang dari Melayu terjadi
sete-lah abad 19 karena melekatnya hukum matri linier yang menjadi ciri khas
Minang.