Makam Sultan Malikussaleh |
Kesultanan Samudera Pasai merupakan
salah satu kerajaan Islam di Nusantara yang terkenal dengan kegiatan
perniagaannya. Kerajaan yang dikenal dengan nama Samudera Darussalam ini
terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Loksumawe dan
Aceh Utara.
Dalam hikayat raja-raja Pasai
dijelaskan bahwa Samudera Pasai didirikan oleh Marah Silu, setelah menggantikan
salah seorang penguasa bernama Sultan Malik al-Nasser. Pada 1297 M, Marah Silu
menjadi raja Samudera Pasai dengan gelar Sultan Malik as-Saleh.
Berita tertua tentang Kesultanan
Samudera Pasai diperoleh dari berita Negeri Tirai Bambu dalam sebuah catatan
tahun 1288 yang menyebutkan bahwa “Lan-Wu-Li dan Sawen-Ta-La” yang berartikan
Lamuri dan samudra bersama-sama telah mengirimkan utusan ke Negeri Cina
(Iskandar 1959:25). Masih dalam kabar dari Cina tapi dari lain sumber tepatnya
pada buku T’oung Pao Archvies halaman 337, menyebutkan bahwa terdapat sebuah
kerajaan di Sumaterayang bernama Samudra pada abad ke-14. Dalam sumber lain
tetap dari Negeri Cina tahun 1385, disebutkan bahwa Kerajaan Samudra diperintah
Oleh rajanya yang bernama Malik Gundhanfar, yang mengirim utusanya ke Cina.
Berita lainya adalah catatan
Marcopolo tahun 1292 menuturkan bahwa ada beberapa kerajaan di kawasan Sumatra
diantaranya yaitu Perlec, Basma, Dagrian, Lamuri, dan Fansur. Jika kita telaah
kembali dan dicermati, dalam catatan Marcopolo tidak menyebutkan Samudera Pasai
tetapi Basma yang letaknya berdekatan dengan Pasai. Catatan Marcopolo
menyebutkan bahwa di Perlec telah ada masyarakat beragama Islam (Iskandar
1959).
Hoessein Djajadiningrat (cf.Alfian
1973:20) mengemukakan berdirinya Kerajaan Samudra Pasai sekitar 1270 dan 1275.
Pendapat yang sama diperoleh dari riwayat Malaysia yang menyebutkan bahwa Raja
Samudra yang awalnya menyembah berhala telah masuk Islam antara tahun 669 dan
675 Hijriah atau 1270 dan 1275 Masehi dan rajanya bergelar Islam yaitu Malikh
as Shaleh.
Tentang kapan berdirinya Kesultanan
Samudra Pasai juga menyita perhatian sejumlah ahli sejarah dan penliti dari
Eropa pada masa pendudukan colonial Hindia Belanda. Penelitian dilakukan
beberapa kali. Beberapa sarjana dan peneliti dari Belanda, termasuk Snouck
Hurgronje, J.P. Moquette, J.L. Moens, J. Hushoff Poll, G.P. Rouffaer, H.K.J.
Cowan, dan lainnya, menyepakati perkiraan bahwa Kesultanan Samudera Pasai baru
berdiri pada pertengahan abad ke-13 serta menempatkan nama Sultan Malik Al
Shaleh sebagai pendirinya (Rusdi Sufi & Agus Budi Wibowo, 2006:50). Gelar
nama Sultan Malik Al Shaleh sendiri dikenal dengan sebutan dan penulisan yang
berbeda, antara lain; Malik Ul Salih, Malik Al Saleh, Malikussaleh, Malik Al
Salih, atau Malik Ul Saleh.
Makam Sultan Malikussaleh di Aceh Utara |
Berbeda dengan sumber dan petunjuk
baru berdasarkan keterangan-keterangan para musafir Arab tentang Asia Tenggara
dan dua naskah lokal Idhahul Hak Fi Mamlakatil Peureula” karya Abu Ishak Al
Makarany dan Tawarich Raja-raja Kerajaan Aceh yang ditemukan di Aceh.
Kesimpulan yang dapat diambil dari sumber baru tersebut adalah bahwa Kesultanan
Samudra Pasai sydag berdiei sejak abad XI Masehi atau tepatnya tahun 433
Hijriyah / 1042 Masehi dab sebagai pendiri dan sultan pertama adalah Maharaja
Mahmud Syah, yang memerintah pada tahun 433-470 Hijriyah / 1042-1078 Masehi.
Kesultanan Samudera Pasai juga
mengalami kesimpangsiuran antara pengejaan dan penyebutan. Disebutkan bahwa
nama lengkap Kesultanan Samudera Pasai adalah “Samudera Aca Pasai”, yang
artinya “Kerajaan Samudera yang baik dengan ibukota di Pasai” (H.M. Zainuddin,
1961:116). Pusat pemerintahan kerajaan tersebut sekarang sudah tidak ada lagi
namun diperkirakan lokasinya berada di sekitar negeri Blang Melayu. Nama
“Samudera” itulah yang dijadikan sebagai nama pulau yang kini disebut sebagai
Sumatra, seperti yang disebut oleh orang-orang Portugis. Sebelumnya, nama
wilayah tersebut adalah Pulau Perca. Sedangkan para pengelana yang berasal dari
Tiongkok/Cina menyebutnya dengan nama “Chincou”, yang artinya “Pulau Emas”,
seperti misalnya yang diketahui berdasarkan tulisan-tulisan I‘tsing. Raja
Kertanegara, pemimpin Kerajaan Singasari yang terkenal, menyebut daerah ini
dengan nama Suwarnabhumi, yang artinya ternyata sama dengan apa yang disebut
oleh orang-orang Tiongkok, yakni “Pulau Emas”.
Sehubungan dengan asal nama
Kesultanan Samudera Pasai, Hikayat Raja-raja Pasai sebuah Historiografi Melayu
yang banyak mengandung unsur-unsur Mythe, Legende, Geneologi dan Sejarah di
dalamnya , memberi suatu keterangan yang berkaitan dengan totemisme.
Ada pula pendapat yang menyebut
bahwa nama Pasai berasal dari kata “tapasai”, yang artinya “tepi laut”. Kata
“tapa” masih banyak dijumpai dalam bahasa-bahasa Polinesia yang berarti “tepi”.
Kata “sai” dapat dimaknai sebagai “laut”, yang juga termasuk dalam kosa kata
Melayu-Polinesia atau Nusantara. Kata “Pasai” adalah sinonim dari kata
“pantai”. Begitu pula kata “samudera” yang juga berarti “tidak jauh dari laut”.
Jadi, baik “Samudera” atau “Pasai” mengandung arti yang kurang lebih sama,
yaitu “negara yang terletak di tepi laut” (Slamet Muljana, 2005:136).
*) Berdirinya Kesultanan Samudera
Pasai Samudera Pasai didirikan oleh Nazimuddin Al Kamil pada abad ke-13.
Nazimuddin Al Kamil adalah seorang laksamana laut dari Mesir. Beliau
diperintahkan pada tahun 1238 M untuk merebut pelabuhan kambayat di Gujarat
yang tujuannya untuk dijadikan tempat pemasaran barang-barang perdagangan dari
timur. Nazimuddin al-Kamil juga mendirikan satu kerajaan di Pulau Sumatera
bagian utara. Tujuan utamanya adalah untuk dapat menguasai hasil perdagangan
rempah-rempah dan lada. Beliau mengangkat Meurah Silu sebagai Raja Pasai pertama.
Setelah naik tahta Meurah Silu berganti nama dan bergelar Sultan Malik
As-Saleh. Masa akhir pemerintahan Sultan Malik As-Saleh sampai beliau wafat
pada tahun 696 Hijriah atau 1297 Masehi.
Berdasarkan catatan ekspedisi Marco
Polo (1292) dan Ibnu Batutah (abad 13). Pada tahun 1267 telah berdiri kerajaan
Islam pertama di Indonesia, yaitu kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga
dibuktikan dengan adanya Batu nisan makam Sultan Malik As- Saleh (th 1297) Raja
pertama Samudra Pasai. Kesultanan Samudera Pasai, juga dikenal dengan Samudera,
Pasai, atau Samudera Darussalam, adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir
pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe, Aceh Utara
sekarang.
Ibnu Battutah, musafir Islam
terkenal asal Maroko, mencatat hal yang sangat berkesan bagi dirinya saat
mengunjungi sebuah kerajaan di pesisir pantai timur Sumatera sekitar tahun 1345
Masehi.
Setelah berlayar selama 25 hari dari
Barhnakar (sekarang masuk wilayah Myanmar),
Ibnu Battutah mendarat di sebuah
tempat yang sangat subur. Perdagangan di daerah itu sangat maju, ditandai
dengan penggunaan mata uang emas. Ia semakin takjub karena ketika turun ke kota
ia mendapati sebuah kota besar yang sangat indah dengan dikelilingi dinding dan
menara kayu. Kota perdagangan di pesisir itu adalah ibu kota Kerajaan Samudera
Pasai.
Samudera Pasai (atau Pase jika
mengikuti sebutan masyarakat setempat) bukan hanya tercatat sebagai kerajaan
yang sangat berpengaruh dalam pengembangan Islam di Nusantara. Pada masa
pemerintahan Sultan Malik Az- Zahir I , Samudera Pasai berkembang menjadi pusat
perdagangan internasional. Pelabuhannya diramaikan oleh pedagang-pedagang dari
Asia, Afrika, Cina, dan Eropa.
Ibnu Battutah juga menceritakan
bahwa, ketika ia di Cina, ia melihat adanya kapal Sultan Pasai di negeri Cina.
Memang, sumber-sumber Cina ada menyebutkan bahwa utusan Pasai secara rutin
datang ke Cina untuk menyerahkan upeti. Informasi lain juga menyebutkan bahwa,
Sultan Pasai mengirimkan utusan ke Quilon, India Barat pada tahun 1282 M. Ini membuktikan
bahwa Pasai memiliki relasi yang cukup luas dengan kerajaan luar
Berdasarkan cerita-cerita kunjungan
negara lain. Ada perbedaan pendapat mengenai kerajaan ini. Hal ini disebabkan
karena ada yang memisahkan antara nama Pasai dan Samudera. Tapi catatan
Tiongkok tidak memisahkan nama kerajaan ini dan meyakini ini adalah satu
kerajaan. Sedangkan Marco Polo dalam catatan perjalanannya menulis daftar
kerajaan yang ada di pantai timur Pulau Sumatera waktu itu, dari selatan ke
utara terdapat nama Ferlec (Perlak), Basma dan Samara (Samudera).
Sejarah Kesultanan Samudera Pasai
Selama masa pemerintahan Sultan
Malik As-Saleh. Sultan menikah dengan putri dari Kerajaan Perlak yaitu Gangang
Sari. Dari pernikahan tersebut lahirlah Sultan Malik Az-Zahir I. Pada Masa
Pemerintahan Sultan Malik Az-Zahir I ini Kerajaan mengalami masa keemasan.
Sultan Malik Az-Zahir I memperkenalkan pertama kali penggunaan emas di
lingkungan kerajaan. Hal inilah yang mengakibatkan Kerajaan Samudera Pasai
menjadi pusat perdagangan terbesar di Sumatera pada saat itu. Kerajaan juga
menjadi terkenal sebagai tempat penyebaran agama Islam.
Setelah masa pemerintahan Sultan
Malik Az-Zahir I digantikan oleh anaknya Sultan Ahmad I. Namun tidak
berlangsung lama karena suatu hal maka digantikan oleh anak dari Sultan Ahmad I
yaitu Sultan Malik Az-Zahir II. Pada masa pemerintahan Sultan Malik Az-Zahir
II, Kerajaan Samudera Pasai di datangi oleh musafir Maroko terkenal dunia yaitu
Ibn Batuthah. Ibn Batuthah menulis dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan
ke Timur) sekembalinya ke jazirah arab menceritakan bahwa salah satu Raja di
daerah Samatrah (Sumatera) menyambutnya dengan ramah. Beliau juga mengungkapkan
bahwa pengikutnya bermazhab Syafii. Sayangnya pada masa pemerintahan Sultan
Malik Az-Zahir II pada tahun 1345. Kerajaan Samudera Pasai diserang oleh
Kerajaan Majapahit kemudian serangan kedua pada tahun 1350 sehingga membuat
keluarga Kerajaan harus mengungsi
Kejayaan Samudera Pasai yang berada
di daerah Samudera Geudong, Aceh Utara, diawali dengan penyatuan sejumlah
kerajaan kecil di daerah Peurelak, seperti Rimba Jreum dan Seumerlang. Sultan
Malikussaleh adalah salah seorang keturunan kerajaan itu yang menaklukkan
beberapa kerajaan kecil dan mendirikan Kerajaan Samudera pada tahun 1270 Masehi.Makam
Abdullah ibnu Muhammad ibnu Abdul Kadir Ia menikah dengan Ganggang Sari,
seorang putri dari kerajaan Islam Peureulak. Dari pernikahan itu, lahirlah dua
putranya yang bernama Malikul Dhahir dan Malikul Mansyur. Setelah keduanya
beranjak dewasa, Malikussaleh menyerahkan takhta kepada anak sulungnya Malik
Az-Zahir. Ia mendirikan kerajaan baru bernama Pasai. Ketika Malikussaleh
mangkat, Malik Az-Zahir menggabungkan kedua kerajaan itu menjadi Samudera
Pasai.
Saat itu Pasai diperkirakan
mengekspor lada sekitar 8.000- 10.000 bahara setiap tahunnya, selain komoditas
lain seperti sutra, kapur barus, dan emas yang didatangkan dari daerah
pedalaman. Bukan hanya perdagangan ekspor impor yang maju. Sebagai bandar
dagang yang maju, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang sebagai alat
pembayaran. Salah satunya yang terbuat dari emas dikenal sebagai uang dirham.
Hubungan dagang dengan
pedagang-pedagang Pulau Jawa juga terjalin. Produksi beras dari Jawa ditukar
dengan lada. Pedagang-pedagang Jawa mendapat kedudukan yang istimewa di
pelabuhan Samudera Pasai. Mereka dibebaskan dari pembayaran cukai.Perdagangan
Selain sebagai pusat perdagangan, Pasai juga menjadi pusat perkembangan Islam
di Nusantara. Kebanyakan mubalig Islam yang datang ke Jawa dan daerah lain
berasal dari Pasai.
Eratnya pengaruh Kerajaan Samudera
Pasai dengan perkembangan Islam di Jawa juga terlihat dari sejarah dan latar
belakang para Wali Songo. Sunan Kalijaga memperistri anak Maulana Ishaq, Sultan
Pasai. Sunan Gunung Jati alias Fatahillah yang gigih melawan penjajahan
Portugis lahir dan besar di Pasai. Laksamana Cheng Ho tercatat juga pernah
berkunjung ke Pasai. Situs Kerajaan Islam Samudera Pasai ini sempat sangat
terkenal pada tahun 1980-an, sebelum konflik di Aceh semakin memanas dan
menyurutkan para peziarah. Menurut Yakub, juru kunci makam Sultan Malikussaleh,
nama besar sang sultan turut mengundang rasa keingintahuan para peziarah dari
Malaysia, India, sampai Pakistan. Negara-negara itu dulunya menjalin hubungan
dagang dengan Pasai.
Sejarah Pasai yang begitu panjang
masih bisa ditelusuri lewat sejumlah situs makam para pendiri kerajaan dan
keturunannya di makam raja-raja Pasai itu. Makam itu menjadi saksi satu-satunya
karena peninggalan lain seperti istana sudah tidak ada.
Makam Sultan Malikussaleh dan
cucunya, Ratu Nahrisyah, adalah dua kompleks situs yang tergolong masih
terawat. Makam Malikul Zahir Menurut Christiaan Snouck Hurgronje, hubungan
langsung Arab dengan Indonesia baru berlangsung abad 17 pada masa kerajaan Samudra
Pasai, Banten, Demak dan Mataram Baru. Samudra Pasai sebelum menjadi kerajaan
Islam merupakan kota pelabuhan yang berada dalam kekuasaan Majapahit, yang pada
masa itu sedang mengalami kemunduran. Setelah dikuasai oleh pembesar Islam,
para pedagang dari Tuban, Palembang, malaka, India, Cina dan lain-lain datang
berdagang di Samudra Pasai. Menurut Ibnu Batutah: Samudera Pasai merupakan
pelabuhan terpenting dan Istana Raja telah disusun dan diatur secara indah
berdasarkan pola budaya Indonesia dan Islam.
Belum begitu banyak bukti arkeologis
tentang kerajaan ini untuk dapat digunakan sebagai bahan kajian sejarah. Namun
beberapa sejarahwan memulai menelusuri keberadaan kerajaan ini bersumberkan
dari Hikayat Raja-raja Pasai dan ini dikaitkan dengan beberapa makam raja serta
penemuan koin berbahan emas dan perak dengan tertera nama rajanya.
Kerajaan ini didirikan oleh Marah
Silu, yang bergelar Sultan Malik as-Saleh, sekitar tahun 1267. Keberadaan
kerajaan ini juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke
Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah
ke negeri ini pada tahun 1345. Kesultanan Pasai akhirnya runtuh setelah
serangan Portugal pada tahun 1521.
Berdasarkan Hikayat Raja-raja Pasai,
menceritakan tentang pendirian Pasai oleh Marah Silu, setelah sebelumnya ia
menggantikan seorang raja yang bernama Sultan Malik al-Nasser. Marah Silu ini
sebelumnya berada pada satu kawasan yang disebut dengan Semerlanga kemudian
setelah naik tahta bergelar Sultan Malik as-Saleh, ia wafat pada tahun 696 H
atau 1267 M.
Dalam Hikayat Raja-raja Pasai maupun
Sulalatus Salatin nama Pasai dan Samudera telah dipisahkan merujuk pada dua
kawasan yang berbeda, tetapi dalam catatan Tiongkok nama-nama tersebut tidak
dibedakan sama sekali. Sementara Marco Polo dalam lawatannya mencatat beberapa
daftar kerajaan yang ada di pantai timur Pulau Sumatra waktu itu, dari selatan
ke utara terdapat nama Ferlec (Perlak), Basma dan Samara (Samudera).
Pemerintahan Sultan Malik as-Saleh
kemudian dilanjutkan oleh putranya Sultan Muhammad Malik az-Zahir dari
perkawinannya dengan putri Raja Perlak. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad
Malik az-Zahir, koin emas sebagai mata uang telah diperkenalkan di Pasai,
seiring dengan berkembangnya Pasai menjadi salah satu kawasan perdagangan
sekaligus tempat pengembangan dakwah agama Islam.
Kemudian sekitar tahun 1326 ia
meninggal dunia dan digantikan oleh anaknya Sultan Mahmud Malik az-Zahir dan
memerintah sampai tahun 1345. Pada masa pemerintahannya, ia dikunjungi oleh Ibn
Batuthah, kemudian menceritakan bahwa sultan di negeri Samatrah (Samudera)
menyambutnya dengan penuh keramahan, dan penduduknya menganut Mazhab Syafi'i.
Penemuan makam Sultan Malik as-Saleh
yang bertarikh 696 H atau 1267 M, dirujuk oleh sejarawan sebagai tanda telah
masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-13. Walau ada pendapat bahwa
kemungkinan Islam telah datang lebih awal dari itu. Hikayat Raja-raja Pasai
memang penuh dengan mitos dan legenda namun deskripsi ceritanya telah membantu
dalam mengungkap sisi gelap sejarah akan keberadaan kerajaan ini.
Kejayaan masa lalu kerajaan ini
telah menginspirasikan masyarakatnya untuk kembali menggunakan nama pendiri
kerajaan ini untuk Universitas Malikussaleh, Bandara Malikussaleh dan Museum
Islam Samudera Pasai di Aceh Utara.
Kesultanan Pasai kembali bangkit di
bawah pimpinan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir tahun 1383, dan memerintah
sampai tahun 1405. Dalam kronik Tiongkok ia juga dikenal dengan nama
Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki, dan disebutkan ia tewas oleh Raja Nakur. Selanjutnya
pemerintahan Kesultanan Pasai dilanjutkan oleh istrinya Sultanah Nahrasiyah.
Armada Cheng Ho yang memimpin
sekitar 208 kapal mengunjungi Pasai berturut turut dalam tahun 1405, 1408 dan
1412. Berdasarkan laporan perjalanan Cheng Ho yang dicatat oleh para
pembantunya seperti Ma Huan dan Fei Xin.
Secara geografis Kesultanan Pasai
dideskripsikan memiliki batas wilayah dengan pegunungan tinggi disebelah
selatan dan timur, serta jika terus ke arah timur berbatasan dengan Kerajaan
Aru, sebelah utara dengan laut, sebelah barat berbatasan dengan dua kerajaan,
Nakur dan Lide.
Sedangkan jika terus ke arah barat
berjumpa dengan kerajaan Lambri (Lamuri) yang disebutkan waktu itu berjarak 3
hari 3 malam dari Pasai. Dalam kunjungan tersebut Cheng Ho juga menyampaikan
hadiah dari Kaisar Tiongkok, Lonceng Cakra Donya.
Sekitar tahun 1434 Sultan Pasai
mengirim saudaranya yang dikenal dengan Ha-li-zhi-han namun wafat di Beijing.
Kaisar Xuande dari Dinasti Ming mengutus Wang Jinhong ke Pasai untuk
menyampaikan berita tersebut.
Pusat pemerintahan Kesultanan Pasai
terletaknya antara Krueng Jambo Aye (Sungai Jambu Air) dengan Krueng Pase
(Sungai Pasai), Aceh Utara. Menurut ibn Batuthah yang menghabiskan waktunya
sekitar dua minggu di Pasai, menyebutkan bahwa kerajaan ini tidak memiliki
benteng pertahanan dari batu, tetapi telah memagari kotanya dengan kayu, yang
berjarak beberapa kilometer dari pelabuhannya.
Pada kawasan inti kerajaan ini
terdapat masjid, dan pasar serta dilalui oleh sungai tawar yang bermuara ke
laut. Ma Huan menambahkan, walau muaranya besar namun ombaknya menggelora dan
mudah mengakibatkan kapal terbalik.[10] Sehingga penamaan Lhokseumawe yang
dapat bermaksud teluk yang airnya berputar-putar kemungkinan berkaitan dengan
ini.
Dalam struktur pemerintahan terdapat
istilah menteri, syahbandar dan kadi. Sementara anak-anak sultan baik lelaki
maupun perempuan digelari dengan Tun, begitu juga beberapa petinggi kerajaan.
Kesultanan Pasai memiliki beberapa kerajaan bawahan, dan penguasanya juga
bergelar sultan.
Pada masa pemerintahan Sultan
Muhammad Malik az-Zahir, Kerajaan Perlak telah menjadi bagian dari kedaulatan
Pasai, kemudian ia juga menempatkan salah seorang anaknya yaitu Sultan Mansur
di Samudera. Namun pada masa Sultan Ahmad Malik az-Zahir, kawasan Samudera
sudah menjadi satu kesatuan dengan nama Samudera Pasai yang tetap berpusat di
Pasai.
Pada masa pemerintahan Sultan Zain
al-Abidin Malik az-Zahir, Lide (Kerajaan Pedir) disebutkan menjadi kerajaan
bawahan dari Pasai. Sementara itu Pasai juga disebutkan memiliki hubungan yang
buruk dengan Nakur, puncaknya kerajaan ini menyerang Pasai dan mengakibatkan
Sultan Pasai terbunuh.
Pasai merupakan kota dagang,
mengandalkan lada sebagai komoditas andalannya, dalam catatan Ma Huan disebutkan
100 kati lada dijual dengan harga perak 1 tahil. Dalam perdagangan Kesultanan
Pasai mengeluarkan koin emas sebagai alat transaksi pada masyarakatnya, mata
uang ini disebut Deureuham (dirham) yang dibuat 70% emas murni dengan berat
0.60 gram, diameter 10 mm, mutu 17 karat.
Sementara masyarakat Pasai umumnya
telah menanam padi di ladang, yang dipanen 2 kali setahun, serta memilki sapi
perah untuk menghasilkan keju. Sedangkan rumah penduduknya memiliki tinggi
rata-rata 2.5 meter yang disekat menjadi beberapa bilik, dengan lantai terbuat
dari bilah-bilah kayu kelapa atau kayu pinang yang disusun dengan rotan, dan di
atasnya dihamparkan tikar rotan atau pandan.
Agama dan budaya
Islam merupakan agama yang dianut
oleh masyarakat Pasai, walau pengaruh Hindu dan Buddha juga turut mewarnai
masyarakat ini. Dari catatan Ma Huan dan Tomé Pires, telah membandingkan dan
menyebutkan bahwa sosial budaya masyarakat Pasai mirip dengan Malaka, seperti
bahasa, maupun tradisi pada upacara kelahiran, perkawinan dan kematian.
Kemungkinan kesamaan ini memudahkan penerimaan Islam di Malaka dan hubungan
yang akrab ini dipererat oleh adanya pernikahan antara putri Pasai dengan raja
Malaka sebagaimana diceritakan dalam Sulalatus Salatin.
Akhir pemerintahan
Menjelang masa-masa akhir
pemerintahan Kesultanan Pasai, terjadi beberapa pertikaian di Pasai yang
mengakibatkan perang saudara. Sulalatus Salatin menceritakan Sultan Pasai
meminta bantuan kepada Sultan Melaka untuk meredam pemberontakan tersebut.
Namun Kesultanan Pasai sendiri akhirnya runtuh setelah ditaklukkan oleh
Portugal tahun 1521 yang sebelumnya telah menaklukan Melaka tahun 1511, dan
kemudian tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan
Kesultanan Aceh.