Gambar Palembang pada tahun 1659 |
Kesultanan Palembang Darussalam
adalah suatu kerajaan Islam di Indonesia yang berlokasi di sekitar kota
Palembang, Sumatra Selatan sekarang.
Kesultanan Palembang diproklamirkan
oleh Sri Susuhunan Abdurrahman, seorang bangsawan Palembang pada tahun 1659 dan
dihapuskan keberadaannya oleh pemerintah kolonial Belanda pada 7 Oktober 1823.
Berdasarkan kisah Kidung Pamacangah
dan Babad Arya Tabanan disebutkan seorang tokoh Anak Brawijaya sebagai Bupati
Palembang turut serta menaklukan Bali bersama dengan Gajah Mada Mahapatih
Majapahit pada tahun 1343.
Sejarawan Prof. C.C. Berg
menganggapnya identik dengan Adityawarman. Begitu juga dalam Nagarakretagama,
nama Palembang telah disebutkan sebagai daerah jajahan Majapahit serta Gajah
Mada dalam sumpahnya yang terdapat dalam Pararaton juga telah menyebutkan
Palembang sebagai sebuah kawasan yang akan ditaklukannya.
Selanjutnya berdasarkan kronik
Tiongkok nama Pa-lin-fong yang terdapat pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada
tahun 1178 oleh Chou-Ju-Kua dirujuk kepada Palembang, dan kemudian sekitar
tahun 1513, Tomé Pires seorang petualang dari Portugis menyebutkan Palembang,
telah dipimpin oleh seorang patih yang ditunjuk dari Jawa yang kemudian dirujuk
kepada kesultanan Demak serta turut serta menyerang Malaka yang waktu itu telah
dikuasai oleh Portugis. Kemudian pada tahun 1596, Palembang juga ditaklukan
oleh VOC Seterusnya nama tokoh yang dirujuk memimpin kesultanan Palembang dari
awal adalah Sri Susuhunan Abdurrahman tahun 1659. Walau sejak tahun 1601 telah
memiliki hubungan dengan VOC dari yang mengaku Sultan Palembang.
Kuto Gawang
Pada awal abad ke-17, Palembang
menjadi pusat pemerintahan kerajaan yang bernuansa Islam dengan pendirinya Ki
Gede ing Suro, bangsawan pelarian dari Kesultanan Demak akibat kemelut politik
setelah mangkatnya Sultan Trenggana. Pada masa ini pusat pemerintahan di daerah
sekitar Kelurahan 2-Ilir, di tempat yang sekarang merupakan kompleks PT Pupuk
Sriwijaya. Secara alamiah lokasi keraton cukup strategis, dan secara teknis
diperkuat oleh dinding tebal dari kayu unglen dan cerucup yang membentang
antara Plaju dengan Pulau Kembaro, sebuah pulau kecil yang letaknya di tengah
Sungai Musi. Keraton Palembang yang dibangunnya itu disebut Keraton Kuto Gawang
yang bentuknya empat persegi panjang dibentengi dengan kayu besi dan kayu
unglen yang tebalnya 30 x 30 cm/batangnya. Kota berbenteng yang di kemudian
hari dikenal dengan nama Kuto Gawang ini mempunyai ukuran 290 Rijnlandsche
roede (1093 meter) baik panjang maupun lebarnya. Tinggi dinding yang
mengitarinya 24 kaki (7,25 meter). Orang-orang Tionghoa dan Portugis berdiam
berseberangan yang terletak di tepi sungai Musi. Kota berbenteng ini
sebagaimana dilukiskan pada tahun 1659 (Sketsa Joan van der Laen), menghadap ke
arah Sungai Musi (ke selatan) dengan pintu masuknya melalui Sungai Rengas. Di
sebelah timurnya berbatasan dengan Sungai Taligawe, dan di sebelah baratnya
berbatasan dengan Sungai Buah. Dalam gambar sketsa tahun 1659 tampak Sungai
Taligawe, Sungai Rengas, dan Sungai Buah tampak terus ke arah utara dan satu
sama lain tidak bersambung. Sebagai batas kota sisi utara adalah pagar dari
kayu besi dan kayu unglen. Di tengah benteng keraton tampak berdiri megah
bangunan keraton yang letaknya di sebelah barat Sungai Rengas. Benteng keraton
mempunyai tiga buah baluarti (bastion) yang dibuat dari konstruksi batu.
Orang-orang asing ditempatkan/bermukim di sebe¬rang sungai sisi selatan Musi,
di sebelah barat muara sungai Komering (sekarang daerah Seberang Ulu, Plaju).
Beringin Janggut
Setelah Keraton Kuto Gawang
dihancurkan VOC tahun 1659, oleh Susuhunan Abdurrahman pusat pemerintahan
dipindahkan ke Beringin Janggut yang letaknya di sekitar kawasan Mesjid Lama
(Jl. Segaran). Sayang data tertulis maupun gambar sketsa mengenai keberadaan,
bentuk, dan ukuran keraton ini hingga saat ini tidak ada. Daerah sekitar
Keraton Beringin Janggut dibatasi oleh sungai-sungai yang saling berhubungan.
Kawasan keraton dibatasi oleh Sungai Musi di selatan, Sungai Tengkuruk di
sebelah barat, Sungai Penedan di sebelah utara, dan Sungai Rendang/Sungai
Karang Waru di sebelah timur. Sungai Penedan merupakan sebuah kanal yang
menghubungkan Sungai Kemenduran, Sungai Kapuran, dan Sungai Kebon Duku. Karena
sungai-sungai ini saling berhubungan, penduduk yang mengadakan perjalanan dari
Sungai Rendang ke Sungai Tengkuruk, tidak lagi harus keluar melalui Sungai
Musi. Dari petunjuk ini dapat diperoleh gambaran bahwa aktivitas sehari-hari
pada masa itu telah berlang¬sung di darat agak jauh dari Sungai Musi.
Kuto Tengkuruk
Kawasan inti Keraton Kesultanan
Palembang-Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo
Wikramo luasnya sekitar 50 hektare dengan batas-batas di sebelah utara Sungai
Kapuran, di sebelah timur berbatasan dengan Sungai Tengkuruk (sekarang menjadi
Jl. Jenderal Soedirman), di sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Musi, dan
di sebelah barat berbatasan dengan Sungai Sekanak. Pada awalnya di areal tanah
yang luasnya sekitar 50 hektare ini hanya terdapat bangunan Kuto Batu atau Kuto
Tengkuruk dan Masjid Agung dengan sebuah menara yang atapnya berbentuk kubah.
Pada saat ini batas kota Palembang kira-kira di sebelah timur berbatasan dengan
Kompleks PT. Pusri, di sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Musi, di
sebelah barat berbatasan dengan Sungai Lambidaro (36 Ilir), dan di sebelah
utara hingga sekitar Pasar Cinde.
Kuto Besak
Pada masa pemerintahan Sultan
Muhammad Bahauddin (1776-1803), dibangun Keraton Kuto Besak. Letaknya di
sebelah barat Keraton Kuto Tengkuruk. Kuto ini mempunyai ukuran panjang 288,75
meter, lebar 183,75 meter, tinggi 9,99 meter, dan tebal dinding 1,99 meter
membujur arah barat-timur (hulu-hilir Musi). Di setiap sudutnya terdapat
bastion. Bastion yang terletak di sudut barat laut bentuknya berbeda dengan
tiga bastion lain, sama seperti pada bastion yang sering ditemukan pada
benteng-benteng lain di Indonesia. Justru ketiga bastion yang sama itu
merupakan ciri khas bastion Benteng Kuto Besak. Di sisi timur, selatan, dan
barat terdapat pintu masuk benteng. Pintu gerbang utama yang disebut lawang
kuto terletak di sisi sebelah selatan menghadap ke Sungai Musi. Pintu masuk
lainnya yang disebut lawang buratan jumlahnya ada dua, tetapi yang masih
tersisa hanya sebuah di sisi barat. Perang Palembang 1821 dan dibubarkannya
institusi Kesultanan pada 7 Oktober 1823, bangunan Kuto Tengkuruk diratakan
dengan tanah. Di atas runtuhan Kuto Tengkuruk, atas perintah van Sevenhoven
kemudian dibangun rumah Regeering Commissaris yang sekarang menjadi Museum
Sultan Mahmud Badaruddin II.
Sejarah Kesultanan Palembang
Menurut catatan sejarah, cerita
tentang Kesultanan Palembang muncul melalui proses yang panjang dan berkaitan
erat pula dengan kerajaan-kerajaan besar lain, terutama di Pulau Jawa, seperti
Kerajaan Majapahit, Demak, pajang dan Mataram.
Raja Majapahit, Prabu Brawijaya yang
terakhir memiliki putera bernama Aria Damar atau setelah memeluk Islam disebut
Aria Dilah dikirim kembali ke Palembang untuk menjadi penguasa. Di sini ia
menikah dengan saudara Demang Lebar Daun yang bernama Puteri Sandang Biduk, dan
diangkat menjadi raja (1445-1486). Pada saat Aria Dilah memerintah Palembang,
ia mendapat kiriman seorang puteri Cina yang sedang hamil, yakni isteri ayahnya
yang diamanatkan kepadanya untuk mengasuh dan merawatnya. Sang puteri ini
melahirkan seorang putera di Pulau Seribu, yang diberi nama Raden Fatah atau
bergelar Panembahan Palembang, yang kemudian menjadi raja pertama di Demak dan
menjadi menantu Sunan Ampel.
Pada saat Raden Fatah menjadi raja
Demak I (1478-1518), ia berhasil memperbesar kekuasaannya dan menjadikan Demak
kerajaan Islam pertama di Jawa. Akan tetapi, kerajaan Demak tidak dapat
bertahan lama karena terjadinya kemelut perang saudara dimana setelah Pangeran
Trenggono Sultan Demak III anak Raden Fatah wafat, terjadilah kekacauan dan
perebutan kekuasaan antara saudaranya dan anaknya. Saudaranya, mengakibatkan
sejumlah bangsawan Demak melarikan diri kembali ke Palembang.
Rombongan dari Demak yang berjumlah
80 Kepala Keluarga ini diketuai oleh Pangeran Sedo Ing Lautan (1547-1552)
menetap di Palembang Lama (1 ilir) yang saat itu Palembang dibawah pimpinan
Dipati Karang Widara, keturunan Demang Lebar Daun. Mereka mendirikan Kerajaan
Palembang yang bercorak Islam serta mendirikan Istana Kuto Gawang dan Masjid di
Candi Laras (PUSRI sekarang).
Pengganti Pangeran Sedo Ing Lautan
sebagai Raja adalah anaknya, Ki Gede Ing Sura Tuo selama 22 tahun (1552-1573).
Oleh karena beliau tidak berputera, maka ia mengangkat keponakannya menjadi
penggantinya dengan bergelar pula Ki Gede Ing Suro Mudo (1573-1590). Setelah
wafatnya ia di ganti oleh Kemas Adipati selama 12 tahun. Kemudian digantikan
oleh anaknya Den Arya lamanya 1 tahun. Selanjutnya ia diganti oleh Pangeran
Ratu Madi Ing Angsoko Jamaluddin Mangkurat I (1596-1629) yang wafat teraniaya
di bawah pohon Angsoka. Pengganti selanjutnya ialah adiknya Pangeran Madi Alit
Jamaluddin Mangkurat II (1629-1630). Setelah wafat diteruskan pula oleh adiknya
yang bernama Pangeran Sedo Ing Puro Jamaluddin Mangkurat III (1630-1639), wafat
di Indra Laya. Lalu digantikan oleh kemenakannya yang bernama Pangeran Sedo Ing
Kenayan Jamaluddin Mangkurat IV (1639-1650) bersama dengan isterinya Ratu
Senuhun. Ratu Senuhun inilah yang menyusun “Undang-undang Simbur Cahaya” yang
mengatur adat pergaulan bujang gadis, adat perkawinan, piagam dan lain
sebagainya.
Sebagai ganti Pangeran Sido Ing
Kenayan ialah Pangeran Sedo Ing Pesarean Jamaluddin Mangkurat V (1651-1652) bin
Tumenggung Manca Negara. Tongkat estafet selanjutnya dipegang oleh puteranya
yang bernama Pangeran Sedo Ing Rejek Jamaluddin Mangkurat VI (1652-1659)
sebagai raja Palembang. Beliau raja yang alim dan wara’. Pada masanya ini
terjadilah pertempuran pertama dengan Belanda pada tahun 1659 yang
mengakibatkan Keraton Kuto Gawang hangus terbakar. Pangeran Sido Ing Rejek
menyerahkan kepemimpinannya kepada adiknya, Pangeran Kesumo Abdurrohim Kemas
Hindi. Sedangkan ia mengungsi ke Saka Tiga sampai akhir hayatnya dan di sana
pula jasadnya dikebumikan.