Masjid Raya Baiturrahman |
Kesultanan Aceh Darussalam merupakan
sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di provinsi Aceh, Indonesia.
Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatra dengan ibu kota Banda Aceh
Darussalam dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang
dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507.
Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh mengembangkan pola dan
sistem pendidikan militer, berkomitmen dalam menentang imperialisme bangsa
Eropa, memiliki sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan
pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, dan menjalin hubungan diplomatik
dengan negara lain.
Sejarah Kesultanan Aceh Darussalam
Kesultanan Aceh didirikan oleh
Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Pada awalnya kerajaan ini berdiri
atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan menyatukan beberapa
wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur. Selanjutnya
pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan
Aceh diikuti dengan Aru.
Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah
digantikan oleh putera sulungnya yang bernama Salahuddin, yang kemudian
berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin
Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1571.
Masa Kejayaan
Meskipun Sultan dianggap sebagai
penguasa tertinggi, tetapi nyatanya selalu dikendalikan oleh orangkaya atau
hulubalang. Hikayat Aceh menuturkan Sultan
yang diturunkan paksa diantaranya Sultan Sri Alam digulingkan pada 1579 karena
perangainya yang sudah melampaui batas dalam membagi-bagikan harta kerajaan
pada pengikutnya.
Penggantinya Sultan Zainal Abidin
terbunuh beberapa bulan kemudian karena kekejamannya dan karena kecanduannya
berburu dan adu binatang. Raja-raja dan orang kaya menawarkan mahkota kepada
Alaiddin Riayat Syah Sayyid al-Mukamil dari Dinasti Darul Kamal pada 1589. Ia
segera mengakhiri periode ketidak-stabilan dengan menumpas orangkaya yang
berlawanan dengannya sambil memperkuat posisinya sebagai penguasa tunggal
Kesultanan Aceh yang dampaknya dirasakan pada sultan berikutnya.
Kesultanan Aceh mengalami masa
ekspansi dan pengaruh terluas pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607
- 1636) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa kepemimpinannya, Aceh menaklukkan
Pahang yang merupakan sumber timah utama. Pada tahun 1629, kesultanan Aceh
melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri
dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya
memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Sayangnya
ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh menduduki Kedah dan
banyak membawa penduduknya ke Aceh.
Pada masa Sultan Alaidin Righayat
Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar Muda) didatangkan perutusan
diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan Tuanku Abdul Hamid.
Sultan juga banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia seperti ke Sultan
Turki Selim II, Pangeran Maurit van Nassau, dan Ratu Elizabeth I. Semua ini
dilakukan untuk memperkuat posisi kekuasaan Aceh.
Sri Sultan Iskandar Muda |
Masa Kemunduran
Kemunduran Kesultanan Aceh
disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin menguatnya kekuasaan
Belanda di pulau Sumatra dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah
Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta
Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah
adanya perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan.
Hal ini bisa ditelusuri lebih awal
setelah kemangkatan Sultan Iskandar Tsani hingga serangkaian peristiwa
nantinya, dimana para bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat kekuasaan Sultan
dengan mengangkat janda Iskandar Tsani menjadi Sultanah. Beberapa sumber
menyebutkan bahwa ketakutan akan kembalinya Raja tiran (Sultan Iskandar Muda)
yang melatar-belakangi pengangkatan ratu.
Sejak itu masa damai terasa di Aceh,
para Ulèëbalang bebas berdagang dengan pedagang asing tanpa harus melalui
pelabuhan sultan di ibu kota. Lada menjadi tanaman utama yang dibudidayakan
seantero pesisir Aceh sehingga menjadi pemasok utama lada dunia hingga akhir
abad 19. Namun beberapa elemen masyarakat terutama dari kaum wujudiyah
menginginkan penguasa nanti adalah seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka
mengklaim bahwa pewaris sah masih hidup dan tinggal bersama mereka di
pedalaman. Perang saudara pecah, masjid raya, Dalam terbakar, kota Bandar Aceh
dalam kegaduhan dan ketidak-tentraman. Menindaklanjuti pertikaian ini, Kadhi
Malikul Adil (semacam mufti agung) Tgk. Syech Abdurrauf As-Sinkily melakukan
berbagai reformasi terutama perihal pembagian kekuasaan dengan terbentuknya
tiga sagoe. Hal ini mengakibatkan kekuasaan sultanah/sultan sangat lemah dengan
hanya berkuasa penuh pada daerah Bibeueh (kekuasaan langsung) semata.
Perang saudara dalam hal perebutan
kekuasaan turut berperan besar dalam melemahnya Kesultanan Aceh. Pada masa
Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (1795-1824), seorang keturunan Sultan yang
terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan dengan mengangkat anaknya
menjadi Sultan Saif Al-Alam. Perang saudara kembali pecah namun berkat bantuan
Raffles dan Koh Lay Huan, seorang pedagang dari Penang kedudukan Jauhar (yang
mampu berbahasa Prancis, Inggris dan Spanyol) dikembalikan. Tak habis sampai
disitu, perang saudara kembali terjadi dalam perebutan kekuasaan antara Tuanku
Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan Mansur Syah
(1857-1870).
Sultan Mansyur Syah berusaha
semampunya untuk memperkuat kembali kesultanan yang sudah rapuh. Dia berhasil
menundukkan para raja lada untuk menyetor upeti ke sultan, hal yang sebelumnya
tak mampu dilakukan sultan terdahulu. Untuk memperkuat pertahanan wilayah
timur, sultan mengirimkan armada pada tahun 1854 dipimpin oleh Laksamana Tuanku
Usen dengan kekuatan 200 perahu. Ekspedisi ini untuk meyakinkan kekuasaan Aceh
terhadap Deli, Langkat dan Serdang. Namun naas, tahun 1865 Aceh angkat kaki
dari daerah itu dengan ditaklukkannya benteng Pulau Kampai.
Sultan juga berusaha membentuk
persekutuan dengan pihak luar sebagai usaha untuk membendung agresi Belanda.
Dikirimkannya utusan kembali ke Istanbul sebagai pemertegas status Aceh sebagai
vassal Turki Utsmaniyah serta mengirimkan sejumlah dana bantuan untuk Perang Krimea.
Sebagai balasan, Sultan Abdul Majid I mengirimkan beberapa alat tempur untuk
Aceh. Tak hanya dengan Turki, sultan juga berusaha membentuk aliansi dengan
Prancis dengan mengirim surat kepada Raja Prancis Louis Philippe I dan Presiden
Republik Prancis ke II (1849). Namun permohonan ini tidak ditanggapi dengan
serius.
Kemunduran terus berlangsung dengan
naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda nan lemah ke tapuk kekuasaan. Serangkaian
upaya diplomasi ke Istanbul yang dipimpin oleh Teuku Paya Bakong dan Habib
Abdurrahman Az-zahier untuk melawan ekspansi Belanda gagal. Setelah kembali ke
ibu kota, Habib bersaing dengan seorang India Teuku Panglima Maharaja Tibang
Muhammad untuk menancapkan pengaruh dalam pemerintahan Aceh. Kaum moderat
cenderung mendukung Habib namun sultan justru melindungi Panglima Tibang yang
dicurigai bersekongkol dengan Belanda ketika berunding di Riau.
Pada akhir November 1871, lahirlah
apa yang disebut dengan Traktat Sumatra, dimana disebutkan dengan jelas
"Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan
kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatra. Pembatasan-pembatasan Traktat
London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk
menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia.
Para Ulee Balang Aceh dan utusan khusus Sultan ditugaskan untuk mencari bantuan
ke sekutu lama Turki. Namun kondisi saat itu tidak memungkinkan karena Turki
saat itu baru saja berperang dengan Rusia di Krimea. Usaha bantuan juga
ditujukan ke Italia, Prancis hingga Amerika namun nihil. Dewan Delapan yang
dibentuk di Penang untuk meraih simpati Inggris juga tidak bisa berbuat
apa-apa. Dengan alasan ini, Belanda memantapkan diri menyerah ibu kota. Maret
1873, pasukan Belanda mendarat di Pantai Cermin Meuraksa menandai awal invasi
Belanda Aceh.
*) Perang Aceh
Perang Aceh dimulai sejak Belanda
menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa
ancaman diplomatik, tetapi tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali
berkobar pada tahun 1883, tetapi lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak
Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.
Pada tahun 1896 Dr. Christiaan
Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil
mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, memberikan saran kepada
Belanda agar merangkul para Ulèëbalang, dan melumatkan habis-habisan kaum
ulama. Saran ini baru terlaksanan pada masa Gubernur Jenderal Joannes
Benedictus van Heutsz. Pasukan Marsose dibentuk dan G.C.E. Van Daalen diutus
mengejar habis-habisan pejuang Aceh hingga pedalaman.
Pada 1879 dan 1898, Sultan Aceh kala
itu, Muhammad Daud Syah II, meminta Rusia untuk memberikan status protektorat
kepada Kesultanan Aceh dan membantunya melawan Belanda. Namun, permintaan
sultan ditolak Rusia.
Pada Januari tahun 1903 Sultan
Muhammad Daud Syah akhirnya menyerahkan diri kepada Belanda setelah dua
istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Panglima
Polem Muhammad Daud, Tuanku Raja Keumala, dan Tuanku Mahmud menyusul pada tahun
yang sama pada bulan September. Perjuangan di lanjutkan oleh ulama keturunan
Tgk. Chik di Tiro dan berakhir ketika Tgk. Mahyidin di Tiro atau lebih dikenal
Teungku Mayed tewas 1910 di Gunung Halimun.[7]
Restorasi
Dengan dibuangnya Sultan Muhammad
Daudsyah ke Ambon (kemudian ke Batavia) pada tahun 1907 maka menandakan
berakhirnya Kesultanan Aceh, yang telah dibina berabad-abad lamanya. Di akhir
tahun 1930an, berkembang gagasan untuk menghidupkan monarki dengan memulangkan
Tuanku Muhammad Daudsyah ke Kutaraja. Belanda tidak menentang secara terbuka
gagasan restorasi monarki namun menolak Tuanku Muhammad Daudsyah untuk duduk di
singgasana kembali. Sikap Belanda yang demikian membuat pendukung gagasan tersebut
mengusulkan Tuanku Mahmud (mantan anggota volksraad dan pegawai pribumi aceh
tertinggi di administrasi Belanda di Aceh) sebagai calon Sultan.
Usulan ini ditentang keras oleh
kelompok Uleebalang yang menikmati otonomi besar di masa pendudukan Belanda.
Mereka khawatir bahwa dengan naiknya sultan maka pengaruh posisi mereka
berkurang bahkan hak turun temurun sebagai kepala daerah bisa ditanggalkan.
Salah satu tokoh penentang keras dari kaum Uleebalang adalah Teuku Muhammad
Hasan Geulumpang Payong (Hasan dik). Penentang di kalangan ulama adalah Teungku
Muhammad Daud Beureueh. Beliau bukan tidak ingin kembalinya kesultanan,
melainkan tidak menyukai orang yang akan menduduki tahta batee tabal, yaitu
Tuanku Ibrahim dan Tuanku Mahmud. Tuanku Ibrahim dianggap memiliki akhlak yang
kurang baik sedangkan Tuanku Mahmud meski cakap tapi terlalu dekat dengan
Belanda.
Kelompok ulama muda terutama yang tergabung dalam PUSA sangat mendukung ide ini. Hal ini dilatar-belakangi banyak di antara mereka yang mengalami kepahitan hidup di bawah kekuasaan para Uleebalang yang hanya tunduk kepada kekuasaan Belanda dan banyak dari uleebalang tersebut bersikap otoriter. Mereka tidak mempunyai tempat untuk mengadukan nasib, karena Belanda senantiasa berpihak kepada Uleebalang. Situasi demikian tidak terjadi jika ada pemerintahan Sultan, setidaknya Sultan berada dibawah bayang-bayang ulama.
Pemerintahan
Sultan Aceh atau Sultanah Aceh
merupakan penguasa / raja dari Kesultanan Aceh. Sultan awalnya berkedudukan di
Gampông Pande, Bandar Aceh Darussalam kemudian pindah ke Dalam Darud Dunia di
daerah sekitar pendopo Gubernur Aceh sekarang. Dari awal hingga tahun 1873 ibu
kota berada tetap di Bandar Aceh Darussalam, yang selanjutnya akibat Perang
dengan Belanda pindah ke Keumala, sebuah daerah di pedalaman Pidie.
Sultan/Sultanah diangkat maupun
diturunkan atas persetujuan oleh tiga Panglima Sagoe dan Teuku Kadi Malikul
Adil (Mufti Agung kerajaan). Sultan baru sah jika telah membayar "Jiname
Aceh" (maskawin Aceh), yaitu emas murni 32 kati, uang tunai seribu enam
ratus ringgit, beberapa puluh ekor kerbau dan beberapa gunca padi. Daerah yang
langsung berada dalam kekuasaan Sultan (Daerah Bibeueh) sejak Sultanah
Zakiatuddin Inayat Syah adalah daerah Dalam Darud Dunia, Masjid Raya, Meuraxa,
Lueng Bata, Pagarayée, Lamsayun, Peulanggahan, Gampông Jawa dan Gampông Pande.
Lambang kekuasaan tertinggi yang
dipegang Sultan dilambangkan dengan dua cara yaitu keris dan cap. Tanpa keris
tidak ada pegawai yang dapat mengaku bertugas melaksanakan perintah Sultan.
Tanpa cap tidak ada peraturan yang mempunyai kekuatan hukum.
Balai Rong Sari, yaitu lembaga yang
dipimpin oleh Sultan sendiri, yang anggotanya terdiri dari Hulubalang Empat dan
Ulama Tujuh. Lembaga ini bertugas membuat rencana dan penelitian.
Balai Majelis Mahkamah Rakyat, yaitu
lembaga yang dipimpin oleh Kadli Malikul Adil, yang beranggotakan tujuh puluh
tiga orang; kira-kira semacam Dewan Perwakilan Rakyat sekarang.
Balai Gading, yaitu Lembaga yang
dipimpin Wazir Mu'adhdham Orang Kaya Laksamana Seri Perdana Menteri; kira-kira
Dewan Menteri atau Kabinet kalau sekarang, termasuk sembilan anggota Majlis
Mahkamah Rakyat yang diangkat.
Balai Furdhah, yaitu lembaga yang
mengurus hal ihwal ekonomi, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar
Menteri Seri Paduka; kira-kira Departemen Perdagangan.
Balai Laksamana, yaitu lembaga yang
mengurus hal ihwal angkatan perang, yang dipimpin oleh seorang wazir yang
bergelar Laksamana Amirul Harb; kira-kira Departemen Pertahanan.
Balai Majlis Mahkamah, yaitu lembaga
yang mengurus hal ihwal kehakiman/pengadilan, yang dipimpin oleh seorang wazir
yang bergelar Seri Raja Panglima Wazir Mizan; kira-kira Departemen Kehakiman.
Balai Baitul Mal, yaitu lembaga yang
mengurus hal ihwal keuangan dan perbendaharaan negara, yang dipimpin oleh
seorang wazir yang bergelar Orang Kaya Seri Maharaja Bendahara Raja Wazir
Dirham; kira-kira Departemen Keuangan.
Selain itu terdapat berbagai pejabat
tinggi Kesultanan di antaranya
Syahbandar, mengurus masalah
perdagangan di pelabuhan
Teuku Kadhi Malikul Adil, semacam
hakim tinggi.
Wazir Seri Maharaja Mangkubumi,
yaitu pejabat yang mengurus segala Hulubalang; kira-kira Menteri Dalam Negeri.
Wazir Seri Maharaja Gurah, yaitu
pejabat yang mengurus urusan hasil-hasil dan pengembangan hutan; kira-kira
Menteri Kehutanan.
Teuku Keurukon Katibul Muluk, yaitu
pejabat yang mengurus urusan sekretariat negara termasuk penulis resmi surat
kesultanan, dengan gelar lengkapnya Wazir Rama Setia Kerukoen Katibul Muluk;
kira-kira Sekretaris Negara.
Ulèëbalang & Pembagian Wilayah
Pada waktu Kerajaan Aceh sudah ada
beberapa kerajaan seperti Peureulak, Pasée, Pidie, Teunom, Daya, dan lain-lain
yang sudah berdiri. Disamping kerajaan ini terdapat daerah bebas lain yang
diperintah oleh raja-raja kecil. Pada masa Sultan Iskandar Muda semua daerah
tersebut diintegrasikan dengan Kesultanan Aceh dan diberi nama Nanggroe,
disamakan dengan tiga daerah inti Kesultanan yang disebut Aceh Besar. Setiap
daerah dipimpin oleh Ulèëbalang. Pada masa Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1088
- 1098 H = 1678 - 1688 M) dengan Kadi Malikul Adil (Mufti Agung) Tgk. Syaikh
Abdurrauf As-Sinkily dilakukan reformasi pembagian wilayah. Kerajaan Aceh
dibagi tiga federasi dan daerah otonom. Bentuk federasi dinamakan Sagoe dan
kepalanya disebut Panglima Sagoe. Berikut pembagian tiga segi (Lhée Sagoe):
Sagoe XXII Mukim, yang Kepala
Sagoenya bergelar Sri Muda Perkasa Panglima Polem Wazirul Azmi. Kecuali menjadi
kepala wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirud Daulah (Menteri Negara).
Sagoe XXV Mukim, yang Kepala
Sagoenya bergelar Sri Setia Ulama Kadli Malikul 'Alam. Kecuali menjadi Kepala
Wilayahnya, juga diangkat menjadi Ketua Majelis Ulama Kerajaan.
Sagoe XXVI Mukim, yang Kepala
Sagoenya bergelar Sri Imeum Muda Panglima Wazirul Uzza. Kecuali menjadi Kepala
Wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirul Harb (Menteri Urusan Peperangan).
Dalam setiap Sagoe terdapat Gampong.
Setiap gampong memiliki sebuah Meunasah. Kemudian gampong itu membentuk Mukim
yang terdapat satu Masjid untuk melakukan shalat jumat sesuai mazhab Syafi'ie.
Kecuali dari 3 wilayah Sagoe ini, semua daerah memiliki hak otonom yang luas.
Ulèëbalang yang diberi hak mengurus
daerah otonom non Lhée Sagoe, secara teori adalah pejabat sultan yang diberikan
Sarakata pengangkatan dengan Cap Sikureueng. Namun fakta di lapangan mereka
adalah merdeka. Memang Sultan Aceh tidak dapat mengontrol semua Ulèëbalang yang
telah menjadi pejabat di pedalaman. Dengan lemahnya pengontrolan ini sehingga
mereka lambat laun tidak mau tunduk lagi dan mengindahkan kekuasaan Sultan.
Mereka mulai berdagang dengan pedagang asing di pelabuhan mereka sendiri.
Saudagar-saudagar yang terlibat dalam perdagangan luar negeri ini tidak mau
menyetorkannya kepada petugas Sultan, tetapi menyetorkannya kepada Ulèëbalang
langsung.
Ditegaskan juga dalam sarakata bahwa
Ulèëbalang terikat dalam sumpah yang isinya sebagai berikut:
Demi Allah, kami sekalian hulubalang
khadam Negeri Aceh, dan sekalian kami yang ada jabatan masing-masing kadar
mertabat, besar kecil, timur barat, tunong baroh, sekalian kami ini semuanya,
kami thaat setia kepada Allah dan Rasul, dan kami semua ini thaat setia kepada
Agama Islam, mengikuti Syariat Nabi Muhammad Saw, dan kami semua ini taat setia
kepada raja kami dengan mengikuti perintahnya atas yang hak, dan kami semuanya
cinta pada Negeri Aceh, mempertahankan daripada serangan musuh, kecuali ada
masyakkah, dan kami semua ini cinta kasih pada sekalian rakyat dengan memegang
amanah harta orang yang telah dipercayakan oleh empunya milik. Maka jika semua
kami yang telah bersumpah ini berkhianat dengan mengubah janji seperti yang
telah kami ikral dalam sumpah kami semua ini, demi Allah kami semua dapat kutuk
Allah dan Rasul, mulai dari kami semua sampai pada anak cucu kami dan cicit
kami turun temurun, dapat cerai berai berkelahi, bantah dakwa-dakwi dan dicari
oleh senjata mana-mana berupa apa-apa sekalipun. Wassalam.
Sumpah Ulee Balang
Dokumen sumpah itu kemudian disimpan
oleh Wazir Rama Setia selaku Sekretaris Kerajaan Aceh, Said Abdullah Di
Meuleuk, yang kemudian disimpan secara turun temurun oleh keturunannya hingga
saat ini, khusus bagi rakyat yang termasuk dalam daerah wewenangnya, dalam hal
ini ia boleh mengangkat seorang Kadi/hakim untuk membantunya. Sebagai penutup
ditegaskan, sekiranya Ulée Balang gagal dalam melaksanakan tugasnya menurut
hukum-hukum Allah, ia akan kehilangan kepercayaan atasannya.[15] Di akhir
sarakata itu dianjurkan Uleebalang itu menegakkan shalat lima waktu, melakukan
sembahyang Jum'at, mengeluarkan zakat, mendirikan masjid dan tempat-tempat
ibadah lainnya, mendirikan dayah, dan sekiranya kuasa melakukan ibadah haji.
Perekonomian
Aceh banyak memiliki komoditas yang
diperdagangkan diantaranya:
Minyak tanah dari Deli,
Belerang dari Pulau Weh dan Gunung
Seulawah,
Kapur dari Singkil,
Kapur Barus dan menyan dari Barus.
Emas di pantai barat,
Sutera di Banda Aceh.
Selain itu di ibu kota juga banyak
terdapat pandai emas, tembaga, dan suasa yang mengolah barang mentah menjadi
barang jadi. Sedang Pidie merupakan lumbung beras bagi kesultanan. Namun di
antara semua yang menjadi komoditas unggulan untuk diekspor adalah lada.
Produksi terbesar terjadi pada tahun
1820. Menurut perkiraan Penang, nilai ekspor Aceh mencapai 1,9 juta dollar
Spanyol. Dari jumlah ini $400.000 dibawa ke Penang, senilai $1 juta diangkut
oleh pedagang Amerika dari wilayah lada di pantai barat. Sisanya diangkut kapal
dagang India, Prancis, dan Arab. Pusat lada terletak di pantai Barat yaitu
Rigas, Teunom, dan Meulaboh.
Kebudayaan
Tidak terlalu banyak peninggalan
bangunan zaman Kesultanan yang tersisa di Aceh. Istana Dalam Darud Donya telah
terbakar pada masa perang Aceh - Belanda. Kini, bagian inti dari Istana Dalam
Darud Donya yang merupakan tempat kediaman Sultan Aceh telah berubah menjadi
Pendapa Gubernur Aceh dan "asrama keraton" TNI AD. Perlu dicatat
bahwa pada masa Kesultanan bangunan batu dilarang karena ditakutkan akan
menjadi benteng melawan Sultan. Selain itu, Masjid Raya Baiturrahman saat ini
bukanlah arsitektur yang sebenarnya dikarenakan yang asli telah terbakar pada
masa Perang Aceh - Belanda. Peninggalan arsitektur pada masa kesultanan yang
masih bisa dilihat sampai saat ini antara lain Benteng Indra Patra, Masjid Tua
Indrapuri, Komplek Kandang XII (Komplek Pemakaman Keluarga Kesultanan Aceh),
Pinto Khop, Leusong dan Gunongan dipusat Kota Banda Aceh. Taman Ghairah yang
disebut Ar Raniry dalam Bustanus Salatin sudah tidak berjejak lagi.
Kesusateraan
Sebagaimana daerah lain di Sumatra,
beberapa cerita maupun legenda disusun dalam bentuk hikayat. Hikayat yang
terkenal di antaranya adalah Hikayat Malem Dagang yang berceritakan tokoh
heroik Malem Dagang berlatar penyerbuan Malaka oleh angkatan laut Aceh. Ada
lagi yang lain yaitu Hikayat Malem Diwa, Hikayat Banta Beuransah, Gajah Tujoh
Ulee, Cham Nadiman, Hikayat Pocut Muhammad, Hikayat Prang Gompeuni, Hikayat
Habib Hadat, Kisah Abdullah Hadat dan Hikayat Prang Sabi.
Salah satu karya kesusateraan yang
paling terkenal adalah Bustanus Salatin (Taman Para Sultan) karya Syaikh
Nuruddin Ar-Raniry disamping Tajus Salatin (1603), Sulalatus Salatin (1612),
dan Hikayat Aceh (1606-1636). Selain Ar-Raniry terdapat pula penyair Aceh yang
agung yaitu Hamzah Fansuri dengan karyanya antara lain Asrar al-Arifin (Rahasia
Orang yang Bijaksana), Syarab al-Asyikin (Minuman Segala Orang yang Berahi),
Zinat al-Muwahhidin (Perhiasan Sekalian Orang yang Mengesakan), Syair Si Burung
Pingai, Syair Si Burung Pungguk, Syair Sidang Fakir, Syair Dagang dan Syair
Perahu.
Karya Agama
Para ulama Aceh banyak terlibat
dalam karya di bidang keagamaan yang dipakai luas di Asia Tenggara. Syaikh
Abdurrauf menerbitkan terjemahan dari Tafsir Alqur'an Anwaarut Tanzil wa
Asrarut Takwil, karangan Abdullah bin Umar bin Muhammad Syirazi Al Baidlawy ke
dalam bahasa jawi.
Kemudian ada Syaikh Daud Rumy
menerbitkan Risalah Masailal Muhtadin li Ikhwanil Muhtadi yang menjadi kitab
pengantar di dayah sampai sekarang. Syaikh Nuruddin Ar-Raniry setidaknya
menulis 27 kitab dalam bahasa melayu dan arab. Yang paling terkenal adalah
Sirath al-Mustaqim, kitab fiqih pertama terlengkap dalam bahasa melayu.
Militer
Pada masa Sultan Selim II dari Turki
Utsmani, dikirimkan beberapa teknisi dan pembuat senjata ke Aceh. Selanjutnya
Aceh kemudian menyerap kemampuan ini dan mampu memproduksi meriam sendiri dari
kuningan.
Masa Keemasan Aceh Darussalam
Aceh merupakan negeri yang amat kaya
dan makmur pada masa kejayaannya.
Pada masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat
Minangkabau, Sumatra Timur, hingga Perak di semenanjung Malaysia.
Aceh merupakan salah satu bangsa di
pulau Sumatra yang memiliki tradisi militer, dan pernah menjadi bangsa terkuat
di Selat Malaka, yang meliputi wilayah Sumatra dan Semenanjung Melayu.
Sultan Iskandar Muda kemudian
menikah dengan seorang putri dari Kesultanan Pahang. Putri ini dikenal dengan
nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan istrinya.
Sultan Iskandar Muda memerintahkan
pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai tanda
cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat
sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit.
Aceh melawan Portugis
Ketika Kesultanan Samudera Pasai
dalam krisis, maka Kesultanan Malaka yang muncul di bawah Parameswara
(Paramisora) yang berganti nama setelah masuk Islam dengan panggilan Iskandar
Syah. Kerajaan Islam Malaka ini maju pesat sampai pada tahun 1511 ketika
Portugis di bawah pimpinan Afonso DAlbuquerque dengan armadanya menaklukan
Malaka.
Ketika Malaka jatuh ke tangan
Portugis, kembali Aceh bangkit di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah
(1514-1528).
Semua serangan yang dilancarkan
Portugis untuk menguasai Aceh dapat ditangkis.
Di sisi lain Aceh juga melakukan berbagai
serangan untuk menggulingkan Portugis di Malaka, sehingga dapat menghambat
ekspansi Portugis di Asia Tenggara.