Kesultanan Barus merupakan Kerajaan
Islam yang terletak di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatra Utara. Dalam menjalankan
roda pemerintahannya, Kesultanan Barus lebih bersifat demokratis seperti halnya
nagari-nagari di Minangkabau, dengan "balai" sebagai tempat permusyawaratan
dan mufakat. Setiap masyarakat berperan dalam pengambilan keputusan di
kerajaan.
Kesultanan Barus ini didirikan
Sultan Ibrahimsyah dan berakhir pada saat pendudukan Hindia Belanda pada abad
ke-19.
Asal usul
Barus atau yang sebelumnya dikenal
dengan Fansur, merupakan salah satu pelabuhan tua yang sudah berdagang emas
serta kamper sejak ribuan tahun lalu.
Menurut kronik (cerita legenda )
Kesultanan Barus didirikan oleh Sultan Ibrahimsyah bin Tuanku Sultan
Muhammadsyah dari Tarusan, Pesisir Selatan, tanah Minangkabau. Kepergian Sultan
Ibrahimsyah (Ibrahim) ke Barus setelah ia berseteru dengan keluarganya di
Tarusan.
Ia pergi menyusuri pantai barat
Sumatra hingga tiba di Batang Toru. Dari sini ia terus ke pedalaman menuju
Silindung. Di pedalaman, masyarakat Silindung mengangkatnya sebagai raja
Toba-Silindung. Di Silindung, Ibrahim juga membentuk institusi empat penghulu
seperti halnya di Minangkabau. Penghulu ini berfungsi sebagai wakilnya di
Silindung. Selanjutnya ia menuju Bakara dan menikah dengan putri pimpinan
setempat. Dari putri Batak itulah, Sultan Ibrahim memiliki putra yang bernama
Sisingamangaraja.
Setelah itu ia melanjutkan
perjalanannya ke Pasaribu. Disana masyarakat setempat menanyakan dari mana
asalnya dan bertujuan untuk apa datang kesana. Untuk menyenangkan hati raja,
Ibrahim menjawab bahwa ia datang dari Bakara dan bermarga Pasaribu. Mendengar
kesamaan marganya dengan Ibrahim, Raja Pasaribu sangatlah senang. Ia kemudian
meminta Ibrahim untuk tinggal di Pasaribu. Namun Ibrahim merasa bahwa tempat
ini tidaklah cocok untuknya.
Maka bersama raja dari Empat Pusaran
(empat suku) ia pergi hingga tiba di tepi laut. Tempat ini kemudian dinamainya
Barus, serupa dengan nama kampung kecilnya di Tarusan, Pesisir Selatan. Disini
ia diangkat sebagai raja dengan gelar Tuanku Sultan Ibrahimsyah.
Sejarah Kesultanan Barus
Pada abad ke-14, Kesultanan Barus
merupakan salah satu pelabuhan Kerajaan Pagaruyung, bersama Tiku dan Pariaman,
yang menjadi tempat keluar masuk perdagangan di Pulau Sumatera.
Tahun 1524, kawasan Barus juga
dikuasai oleh Raja-raja dari dua dinasti, yaitu:
* Barus Hulu, Dinasti Pardosi yang
berasal dari Toba.
* Barus Hilir, Dinasti Hatorusan
yang berasal dari Tarusan, Minangkabau, keturunan Raja Pagaruyung.
Barus jatuh di bawah kekuasaan
Kesultanan Aceh. Posisi kesultanan ini kemudian menjadi vassal Aceh hingga
tahun 1668.
Sejak kehadiran VOC pada tahun 1668,
kedua raja ini memiliki sikap yang berbeda.
Raja di Hulu (Pardosi) menolak
kehadiran VOC dan mengangkat setia kepada sultan Aceh.
Raja di Hilir (Hatorusan)
menerimanya dan menentang monopoli Aceh di Barus.
Pada abad ke-19, Barus berada di
bawah kekuasaan Hindia-Belanda dan menjadi bagian propinsi Sumatra’s Weskust
yang berpusat di Padang