Kesultanan Aru / Haru / Aru Baroman
adalah sebuah kerajaan yang berada di Sumatra Utara.
Kesultanan ini diperkirakan ada di
sekitar abad ke-15 bersamaan dengan kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam.
Kesultanan Aru tidak lagi tercatat
dalam Kakawin Nagarakretagama sebagai negara bawahan sebagaimana tertulis dalam
pupuh 13 paragraf 1 dan 2.
Sementara itu dalam Suma Oriental
disebutkan bahwa kerajaan ini merupakan kerajaan yang kuat. Penguasa di Sumatra
yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan memiliki pelabuhan yang ramai
dikunjungi oleh kapal-kapal asing.
Dalam laporannya, Tomé Pires juga
mendeskripsikan akan kehebatan armada kapal laut Kerajaan Aru yang sudah mampu
melakukan pengontrolan lalu lintas kapal-kapal yang melalui Selat Melaka pada
masa itu.
Dalam Sulalatus Salatin Aru atau
Haru disebut sebagai kerajaan yang setara kebesarannya dengan Malaka dan Pasai.
Peninggalan arkeologi yang
dihubungkan dengan Kerajaan Aru telah ditemukan di Kota China dan Kota Rantang.
Letak
Terdapat perdebatan tentang lokasi
tepatnya dari pusat Kerajaan Aru atau Haru. Richard Olaf Winstedt meletakkannya
di wilayah Deli yang berdiri kemudian, tetapi ada pula yang berpendapat Aru
atau Haru berpusat di muara Sungai Panai.
Groeneveldt menegaskan lokasi
Kerajaan Aru berada kira-kira di muara Sungai Barumun (Padang Lawas) dan Gilles
menyatakan di dekat Belawan. Sementara ada juga yang menyatakan lokasi Kerajaan
Aru berada di muara Sungai Wampu (Teluk Haru/Langkat).
Sejarah
Dalam perjalanan Marco Polo pada
tahun 1292, Kerajaan Aru tidak disebutkan, diindikasikan adanya delapan
kerajaan di Pulau Sumatra dan seluruh penduduknya penyembah berhala. Kunjungan
ini bertepatan dengan pembentukan negara-negara pelabuhan Islam pertama.
Beberapa kerajaan yang disebutkan
yaitu Ferlec (Perlak), Fansur (Barus), Basman (Peusangan, kini Bireuen),
Samudra (kemudian dikenal Pasai) dan Dagroian (Pidie). Tiga kerajaan lainnya
tidak disebutkan. Sumber lain menambahkan Lambri (Lamuri) dan Battas (Batak).
Aru atau Haru pertama kali muncul
dalam kronik Tiongkok masa Dinasti Yuan, yang menyebutkan Kubhilai Khan
menuntut tunduknya penguasa Haru pada Tiongkok pada 1282, yang ditanggapi
dengan pengiriman upeti oleh saudara penguasa Haru pada 1295.
Islam masuk ke kerajaan Haru paling
tidak pada abad ke-13. Kemungkinan Haru lebih dulu memeluk agama Islam daripada
Pasai, seperti yang disebutkan Sulalatus Salatin dan dikonfirmasi oleh Tome
Pires.
Sementara peduduknya masih belum
semua memeluk Islam, sebagaimana dalam catatan Afonso de Albuquerque, yaitu
Commentarios, dinyatakan bahwa penguasa kerajaan-kerajaan kecil di Sumatra
bagian Utara dan Sultan Malaka biasa memiliki orang kanibal sebagai algojo dari
sebuah negeri yang bernama Aru.
Juga dalam catatan Mendes Pinto,
dinyatakan adanya masyarakat 'Aaru' di pesisir Timur Laut Sumatra dan
mengunjungi rajanya yang muslim, sekitar dua puluh tahun sebelumnya,
Duarte Barbosa sudah mencatat
tentang kerajaan Aru yang ketika itu dikuasai oleh orang-orang kanibal penganut
paganisme. Namun tidak ditemukan pernyataan kanibalisme dalam sumber-sumber
Tionghoa zaman itu.
Pada abad ke-15 Sejarah Dinasti Ming
menyebutkan bahwa "Su-lu-tang Husin", penguasa Haru, mengirimkan
upeti pada Tiongkok tahun 1411. Setahun kemudian Haru dikunjungi oleh armada
Laksamana Cheng Ho. Pada 1431 Cheng Ho kembali mengirimkan hadiah pada raja
Aru, tetapi saat itu Aru tidak lagi membayar upeti pada Tiongkok.
Pada masa ini Aru menjadi saingan
Kesultanan Malaka sebagai kekuatan maritim di Selat Malaka.
Konflik kedua kerajaan ini
dideskripsikan baik oleh Tome Pires dalam Suma Oriental maupun dalam Sejarah
Melayu.
Pada abad ke-16 Aru merupakan salah
satu kekuatan penting di Selat Malaka, selain Pasai, Portugal yang pada 1511
menguasai Malaka, serta bekas Kesultanan Malaka yang memindahkan ibu kotanya ke
Bintan. Haru menjalin hubungan baik dengan Portugal, dan dengan bantuan mereka
Haru menyerbu Pasai pada 1526 dan membantai ribuan penduduk.
Hubungan Aru dengan Bintan lebih
baik daripada sebelumnya, dan Sultan Mahmud Syah menikahkan putrinya dengan
raja Haru, Sultan Husain. Setelah Portugal mengusir Sultan Mahmud Syah dari
Bintan pada 1526 Haru menjadi salah satu negara terkuat di Selat Malaka. Namun
ambisi Aru tertutup oleh munculnya Aceh yang mulai menanjak. Catatan Portugal
menyebutkan dua serangan Aceh pada 1539, dan sekitar masa itu raja Aru Sultan
Ali Boncar terbunuh oleh pasukan Aceh. Istrinya, ratu Haru, kemudian meminta
bantuan baik pada Portugal di Malaka maupun pada Johor (yang merupakan penerus
Kesultanan Malaka dan Bintan). Armada Johor menghancurkan armada Aceh di Haru
pada 1540.
Aceh kembali menaklukkan Haru pada
1564. Sekali lagi Haru berkat bantuan Johor berhasil mendapatkan
kemerdekaannya, seperti yang dicatat oleh Hikayat Aceh dan sumber-sumber Eropa.
Namun pada abad akhir ke-16 kerajaan ini hanyalah menjadi bidak dalam perebutan
pengaruh antara Aceh dan Johor.
Kemerdekaan Aru baru benar-benar berakhir pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda dari Aceh, yang naik tahta pada 1607. Dalam surat Iskandar Muda kepada Best bertanggal tahun 1613 dikatakan, bahwa Raja Aru berhasil ditangkap; 70 ekor gajah dan sejumlah besar persenjataan yang diangkut melalui laut untuk melakukan peperangan-peperangan di Aru.
Dalam masa itu sebutan Aru atau Haru
juga digantikan dengan nama Deli.
Diperkirakan wilayah Haru kemudian
mendapat kemerdekaannya dari Aceh pada 1669, dengan nama Kesultanan Deli.
Hingga terjadi sebuah pertentangan dalam pergantian kekuasaan pada tahun 1720
menyebabkan pecahnya Deli dan dibentuknya Kesultanan Serdang pada tahun 1723.
Sosial, Ekonomi, dan Budaya
Raja Haru dan penduduknya telah
memeluk agama Islam, sebagaimana disebutkan dalam Yingyai Shenglan (1416),
karya Ma Huan yang ikut mendampingi Laksamana Cheng Ho dalam pengembaraannya.
Dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan
Sejarah Melayu disebutkan kerajaan tersebut diislamkan oleh Nakhoda Ismail dan
Fakir Muhammad, yang juga mengislamkan Merah Silu, Raja Samudera Pasai pada
pertengahan abad ke-13.
Sumber-sumber Tiongkok menyebutkan
bahwa adat istiadat seperti perkawinan, adat penguburan jenazah, bahasa,
pertukangan, dan hasil bumi Haru sama dengan Melaka, Samudera dan Jawa.
Mata pencaharian penduduknya adalah
menangkap ikan di pantai dan bercocok tanam. Tetapi karena tanah negeri itu
tidak begitu sesuai untuk penanaman padi, maka sebagian besar penduduknya
berkebun menanam kelapa, pisang dan mencari hasil hutan seperti kemenyan.
Mereka juga berternak unggas, bebek, kambing. Sebagian penduduknya juga sudah
mengonsumsi susu. Apabila pergi ke hutan mereka membawa panah beracun untuk
perlindungan diri.
Wanita dan laki-laki menutupi
sebagian tubuh mereka dengan kain, sementara bagian atas terbuka. Hasil-hasil
bumi dibarter dengan barang-barang dari pedagang asing seperti keramik, kain
sutera, manik-manik dan lain-lain.
Peninggalan arkeologi di Kota China
menunjukkan wilayah Aru memiliki hubungan dagang dengan Tiongkok dan India.
Namun dalam catatan Ma Huan, tidak seperti Pasai atau Malaka, pada abad ke-15 daerah Aru bukanlah pusat perdagangan yang besar.
Agaknya kerajaan ini kalah bersaing
dengan Malaka dan Pasai dalam menarik minat para pedagang yang pada masa
sebelumnya yang aktif mengunjungi Kota China. Raja-raja Haru kemudian
mengalihkan perhatian mereka ke perompakan.
Kerajaan Aru atau Haru memakai adat
Melayu, dan dalam Sulalatus Salatin para pembesarnya menggunakan gelar-gelar
Melayu seperti "Raja Pahlawan" dan "Sri Indera".
Daftar raja-raja
1. Sultan Husin (....... ~ .........)
2. Sultan Mansur Shah (1456 ~ 1477)
3. Sultan Ali Boncar (.......~ ........)
Dalam kerajaan Aru atau Haru ada
peran dari lembaga Raja Berempat, yang menurut Peret (2010) telah ada sebelum
pengaruh Aceh.
Raja Urung di pesisir ini meliputi
Urung Sunggal. Urung XII Kuta, Urung Sukapiring dan Urung Senembah, yang masing-masing
berkaitan dengan Raja Urung di dataran tinggi (Karo), yakni Urung Telu Kuru
merga Karo-Karo), Urung XII Kuta (merga Karo-Karo), Urung Sukapiring (merga
Karo-Karo) dan
Urung VII Kuta (merga Barus).
Dalam kesempatan berikut, Raja
Berempat ini berperan dalam penentuan calon pengganti Sultan di Deli/Serdang,
dengan menempakan Datuk Sunggal sebagai Ulun Janji.
Peninggalan kerajaan Aru
Benteng Putri Hijau |
Benteng Putri Hijau merupakan salah
satu peninggalan dari Kerajaan Aru yang ditemukan di Kecamatan Namorambe,
Kabupaten Deli Serdang Sumatra utara.
Penelitian puluhan tahun yang terus
menerus dilakukan para peneliti asing dan lokal telah membuktikan kebenaran
usia benteng tanah tersebut sudah ratusan tahun.
Benteng ini dibuat tepat pada masa
Kesultanan Aru mendapat serangan dari Aceh.
Tujuan dibuatnya benteng adalah
untuk membentengi Kesultanan Aru dari serangan kerajaan lain.
Benteng Putri Hijau juga memiliki
fungsi untuk memperkuat pemukiman yang berada di dalamnya agar sulit diterobos
oleh musuh yang menyerang, sehingga Kesultanan Aru tidak dapat ditaklukkan.